RIWAYAT
SINGKAT AL-JUWAYNI
Nama
lengkapnya adalah ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-Allah bin Yusuf bin Muhammad bin
‘Abd al-Allah bin Hayyuwiyah al-Juwayni al-Nisaburi Imam al-Haramayn Abu
al-Ma‘ali. Ayahnya ‘Abd al-Allah bin Yusuf bin Muhammad ‘Abd al-Allah bin
Hayyuwiyah, berasal daerah Juwayn, sebuah tempat yang terletak di Bustam di
antara Jajaram dan Baihaq. [1] Di
sana ayahnya dilahirkan dan dibesarkan, di sana pula ia mengenyam pendidikan
dari para ‘alim ulama’. Kemudian ‘Abd al-Allah bin Yusuf pergi meninggalkan
kampung halamannya menuju Nishapur untuk mencari ilmu pengetahuan. Di Nishapur
ia belajar fiqih madhhab Shafi‘iyah dan teologi pada al-Qifal al-Marzawi.
Di
Nishapur, ayahnya membeli seorang budak wanita s}alihah dan baik hati dengan uang halal yang diperoleh dengan bekerja. Dari
Umm al-Walad inilah lahir ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-Allah, yang kemudian
terkenal dengan sebutan Imam al-Haramayn. Tahun lahir ‘Abd al-Malik
diperselisihkan para sejarawan. Al-Subki, Brocelmann, L. Gardet, Fauqiyah, ‘Abd
al-‘Azim al-Daib, Ibn Khallikan, Ibn Asa>kir, Ibn Kathir, Ibn Fadl al-Allah al-Amri dan al-Samani sepakat
mengatakan bahwa al-Juwayni dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419H. atau
bertepatan dengan bulan Februari tahun 1028 M, sedangkan tanggal umumnya juga
diperselisihkan. Fauqiyah mengatakan bahwa tanggalnya 22, Brockelmann
mengatakan tanggal 12, sedangan L. Gardet mengatakan tanggal 17. Walaupun
tanggal umumnya diperselisihkan, namun mereka sepakat dalam bulan dan tahun
umumnya.[2]
Kembali
ke masalah tahun lahirnya, sejarawan lain, seperti Ibn Jawzi dan Ibn Taghri
Bardi mengatakan, bahwa al-Juwayni dilahirkan pada tahun 417H. walaupun
terdapat perselisihan pendapat atas tahun kelahirannya, namun mereka sepakat
bahwa al-Juwani wafat pada tahun 478H. dalam usia 59 tahun. Dengan adanya kesepakatan
ini bisa disimpulkan bahwa tahun kelahirannya ialah 419H atau tahun 1028M.[3]
Ketika
ayah al-Juwayni wafat pada tahun 438H. Ia menggantikan ayahnya mengajar di
majlis ilmiah. Ketika itu usia usia al-Juwayni belum genap 20 tahun. Meskipun
al-Juwayni telah menjadi guru namun ia tidak berhenti mencari ilmu. Ia belajar
fiqih dan teologi aliran Asha>‘irah pada al-Isfirayni. Ia belajar fiqih madhhab Sha>fi‘iyah dan ilmu hadith
pada al-Baihaqi. Pada masa yang sama, ia juga turut menghadiri majlis
al-Khabbazi untuk belajar ilmu al-Qura>n. Demikian kegiatan al-Juwayni sebelum ia pergi meninggalkan Nishapur untuk
beberapa lama. Di samping memperdalam ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, ia
meneruskan mengajar di sekolah atau majlis yang didirikan oleh ayahnya. Ia menafsirkan
fikih madhhab Sha>fi‘iyah dan mempertahankan teologi madhhab
Asha>‘irah dari serangan-serangan musuh yang ingin menghancurkannya.
Ketika terjadi fitnah
al-Kunduri (sekitar antara tahun 443H dan 447H), al-Juwayni meninggalkan
Nishapur menuju Mu‘askar, Ishfahan, Baghdad, Hijaz dan yang terakhir Makkah.[4] Ia
menetap di Makkah selama beberapa tahun. Ia pernah menjadi guru agama di dua
tempat suci Makkah dan Madinah. Oleh sebab itu ia terkenal dengan sebutan Imam
al-Haramayn, berarti guru agama di dua tempat suci masjid al-Nabawi di madinah
dan masjid al-Haram di Makkah.[5]
DASAR
TEOLOGI AL-JUWAYNI
Teologi
dalam arti sederhana adalah pembahasan soal-soal yang berkaitan dengan diri
Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, terutama hubungan-Nya dengan
manusia. Manusia sebagaimana telah disebut, merupakan satu-satunya mahluk yang
paling sempurna akalnya dan mempunyai perasaan. Hanya merekalah yang sannggup
mengadakan pembahasan. Menurut al-Juwayni ditinjau dari segi Shari‘at yang
terdiri dari ijma‘ ulama‘, manusia wajib mengetahui Tuhannya. Cara
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan adalah dengan mengadakan penalaran akal.
Dengan begitu, cara untuk mencapai sesuatu yang wajib, menjadi wajib pula
hukumnya. Artinya, karena mengetahui Tuhan merupakan kewajiban dan kewajiban
itu bisa terlaksana bila menggunakan penalaran aka, maka penalaran akal wajib
pula hukumnya.[6]
Beberapa
contoh pemikiran al-Juwayni :
a.
Mengenai
sifat-sifat Tuhan
Menurut
Thuroya, Di dalam buku al-Irsha>d, al-Juwayni
mengawali pembahasannya tentang sifat-sifat Tuhan dengan membagi apa yang
wajib, mustahil dan boleh pada Tuhan. [7]
1.
Yang wajib bagi Tuhan. Apa
yang wajib ada pada Tuhan adalah sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat wajib ini dibagi
menjadi dua :
a.
Sifat-sifat Nafsiyah. Yang
dimaksud dengan sifat-sifat nafsiyah (sifat
diri) bagi al-Juwayni, bahwa setiap sifat yang ada pada diri (nafs),
yang ada karena adanya diri tersebut. Sifat-sifat itu bukan terjadi akibat dari
suatu sebab yang ada pada mawsu>f (yang disifati).
b.
Sifat-sifat ma’nawiyah,
atau dalam teologi juga disebut
sifat-sifat subu>tiyah (positif). Yang dikategorikan ke dalam
sifat-sifat ma‘nawiyah menurut al-Juwayni adalah : Sifat berkuasa,
berkehendak, mengetahui, hidup, berbicara, mendengar dan melihat. Menurut al-Juwayni,
yang disebut denga sifat-sifat ma‘nawiyah ialah hukum-hukum yang
terdapat pada mawsu>f (yang memperoleh sifat). Hukum-hukum itu ada
sebagai akibat dari sebab yang terdapat pada mawsu>f. seperti keadaan
mengetahui bagi orang yang mengetahui merupakan akibat dari pengetahuan yang
terdapat pada orang yang mengetahui itu. Demikian halnya dengan sifat-sifat ma‘nawiyah
lainnya, seperti : berkuasa, berkehendak, hidup, berbicara, mendengar dan
melihat.[8]
b.
Mengenai
Perbuatan Manusia
Al-Juwayni
mengatakan bahwa dilihat dari satu sisi, manusia harus percaya bahwa tiada
pencipta selain Tuhan, tiada pencipta selain dia. Semua mahluk yang ada di alam
semesta ini adalah ciptaan Tuhan belaka. Barang siapa yang berkeyakinan bahwa
ada pencipta selain Tuhan, maka keyakinannya ini merupakan dosa yang paling
besar, sebab ia telah menyekutukan Tuhan dengan lain-Nya. Di dalam beberapa nas} al-Qura>n
banyak disebutkan bahwa hanya Allah yang berhak menjadi pencipta. Demikian pula
dengan perbuatan manusia, karna perbuatan manusia itu adalah makhluk Tuhan.[9]
Daya manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan
gelar Tuhan sebagai Pencipta dan Pembuat. Perbuatan yang diperbuat manusia
dengan mempergunakan dayanya yang baharu, terjadi karna terdapatnya daya
tersebut. Tetapi perbuatan itu disandarkan pada Tuhan menurut ukuran (taqdi>ran)
dan penciptaan (khalqan). Perbuatan tersebut terjadi karna perbuatan
Tuhan yakni penciptaan daya pada manusia. Daya tersebut bukan merupakan
perbuatan manusia. Daya itu hanya merupakan sifat manusia, lanjut al-Juwayni.
Daya itu milik Tuhan maka apa yang disandarkan kepada Tuhan sebagai suatu
ukuran dan ciptaan (taqdi>ran dan khalqan). Tuhan memberi hak
pada hambanya untuk memilih, maka manusia bebas mempergunakan daya yang
diciptakan-Nya itu.[10]
Selanjutnya, al-Juwayni mengatakan, bahwa Tuhan
menciptakan daya yang benar-benar diketahui-Nya di dalam diri manusia. Lalu
Tuhan membekali manusia dengan pengetahuan-pengetahuan secara global. Manusia
kemudian menjabarkan pengetahuan yang didapatnya secara rinci. Jika Tuhan
menghendaki manusia berbuat sesuatu, maka Ia memberikan sebab-sebab terjadinya
perbuatan itu. Menimbulan pilihan dan kehendak di dalam diri manusia. Tuhan
mengetahui bahwa perbuatan akan terjadi sesuai dengan ukuran (qadar)
yang diketahui-Nya. Maka terjadilah suatu perbuatan dengan daya yang diciptakan
Tuhan dalam diri manusia sesuai dengan pengetahuan dan kehendak Tuhan. Hamba
hanya tinggal memilih, sedangkan daya telah diciptakan Tuhan sejak semula (ibtida>an).
Daya itu disandarkan pada Tuhan, karna dialah yang menghendaki, mengetahui,
menentukan, menciptakan dan melestarikannya, ditinjau dari segi hanya Dialah
yang berhak menciptakannya.[11]