TEOLOGI AL-BAQILLANI
Muhammad Ibn al-Tayyib
Ibn Muhammad Abu Bakar al-Baqillani (Wafat 1013 M) adalah satu di antara
pengikut yang terpenting di dalam ajaran Ash‘ariyah. Muhammad bin at-Thayib bin
Muhammad bin Ja’far, salah seorang ulama besar di bidang ilmu kalam, menyusun
pemikiran-pemikiran al-Ash‘ari, memaparkan muqaddimah-muqaddimah argumentasi
akal bagi tauhid meski terkadang berlebih-lebihan karena muqaddimah-muqaddimah
tersebut tidak terdapat dalam al-Qur`an dan sunnah. Kemudian dia berhenti pada
madzhab salaf dan menetapkan seluruh sifat seperti wajah dan kedua tangan
secara hakiki dan membatalkan macam-macam takwil yang dipakai oleh ahli ta’wil.
Ini dia tulis dalam kitabnya Tamhid al-Awail wa Talkhis ad-Dalail.[1]
Metode Ash‘ariyah yang
moderat mengalami pergeseran mendekati metode Mu‘tazilah, sehingga metode
rasional lebih dominan. Menurut Jalal Musa, adanya pergeseran ini disebabkan
adanya sikap berlebihan dari sebagian tokoh salaf yang dengan ketat berpegang
kepada teks wahyu secara harfiah, sehingga dianggap berbahaya bagi akidah
Islam. Pergeseran ini dimulai sejak al-Baqillani (w. 401 H), yang oleh
sementara ahli dianggap sebagai tokoh Ash‘ariyah kedua.
Al-Baqillani, seorang
dialektikus terkenal Ash‘ariyah, karena banyak terlibat diskusi dengan pihak
Mu‘tazilah dan pendeta Kristen, yang banyak menggunakan metode rasional, tetapi
sampai menyerap hasil pemikiran filsafat Yunani dan menjadikannya sebagai
dasar-dasar argumentasi rasional dalam masalah akidah. Bahkan dia mewajibkan
iman kepada dasar-dasar tersebut. Di antara dasar-dasar itu ialah: bahwa
alam terdiri atas aksiden; aksiden tidak mampu bertahan sampai dua detik dan
sebagainya. Meskipun demikian, al-Baqillani sama sekali tidak melupakan metode
tekstual. Memang dalam kitab al-Tamhid (Pendahuluan), al-Baqillani sama
sekali tidak memasukkan argumen tekstual, sehingga murni rasional. Tetapi dalam
kitabnya yang lain, al-Inshaf, dia mempergunakan argumen rasional dan
tekstual secara bersamaan dalam setiap masalah .
Selain itu,
al-Baqillani, sebagaimana Ash’ari, juga menetapkan ayat-ayat dan hadis
mutashabihat sebagai sifat-sifat Tuhan dengan “bila kayf” (tanpa
diketahui bagaimanaya) dengan mengemukakan dalil naql. Meskipun
al-Baqillani telah membawa metode Ash’ariyah kepada rasionalitas yang lebih
tinggi, namun menurut Abdurrahman Badawi, dia masih awam mengenai logika
Aristoteles, karena dalam argumen-argumennya belum ditemukan terminologi logika
tersebut. Badawi menilai al-Baqillani hanya mempergunakan logika yang digunakan
di kalangan ulama ushul al-fiqh, seperti tentang qiyas yang diterapkan dalam
akidah .
Al-Baqillani adalah
seorang pengikut yang tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran al- Ash‘ari .
Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan Ash‘ari seperti yang diungkapkan
sebagai berikut :
· Sifat
Allah
Bagi al-Baqillani, sifat Allah
yang kita sebut bukanlah sifat tapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari
Mu’tazilah, sungguhpun ia pada mulanya mempunyai pendapat yang berbeda. Dalam
hal ini al-Baqillani mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti
bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai
wujud tersendiri di luar zat Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan.
Dalam kitab tersebut ia
membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki ilmu kalam, antara
lain pembicaraan tentang jauhar fard (atom), ‘arad, cara
pembuktiannya. Juga ia menyinggung kepercayaan agama macam-macam yang
kesemuanya bersifat pengantar. Al Baqillani mengambil teori atom yang telah
dibicarakan aliran mu‘tazilah dan dijadikan dasar penetapan adanya kekuasaan
Tuhan yang tidak terbatas. Alam ini baginya adalah kumpulan jauhar
(benda tunggal) yaitu bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, akan tetapi
benda-benda tunggal tersebut tidak terdapat dalam wujud, kecuali sesudah
dibubuhi ‘arad{. Jisim, yaitu benda tersusun, terjadi dari
gabungan benda-benda tunggal (jauhar) tersebut.
Jauhar adalah sesuatu yang mungkin bisa wujud dan bisa tidak wujud, seperti halnya ‘arad dan jism. Kesemuanya dijadikan Tuhan (diciptakan). Penciptaan ini terus menerus ada, karena arad, ‘Arad{ dan jisim tidak mungkin terdapat lebih dari satu waktu (detik). Kalau Tuhan berhenti tidak menciptakan lagi, maka semua yang ada disini akan musnah.
Jauhar adalah sesuatu yang mungkin bisa wujud dan bisa tidak wujud, seperti halnya ‘arad dan jism. Kesemuanya dijadikan Tuhan (diciptakan). Penciptaan ini terus menerus ada, karena arad, ‘Arad{ dan jisim tidak mungkin terdapat lebih dari satu waktu (detik). Kalau Tuhan berhenti tidak menciptakan lagi, maka semua yang ada disini akan musnah.
Menurut Al-Baqillani tiap-tiap ‘arad{
mempunyai lawan ‘arad{ pula. Misalnya hidup lawannya mati, baik lawannya
buruk, panas lawannya dingin, dan seterusnya. Dua ‘arad{ yang berlawanan tidak
mungkin berkumpul pada sesuatu benda dari satu segi dan pada satu waktu (bersamaan
waktu), meskipun terjadi pergantian ‘arad{ yang berlawanan tersebut pada suatu
benda. Akibat penting dari pendapat tersebut ialah bahwa dalam alam ini tidak
ada hukum yang pasti, sebagaimana yang dikatakan aliran mu‘tazilah. Karena
penggabungan atom dan pergantian ‘arad{ tidak terjadi karena sendirinya
(karena tabiatnya), tetapi kehendak
Tuhan semata. Kalau Tuhan menghendaki perubahan hukum yang kelihatannya
menguasai jalannya alam, tentu bisa berubah dengan menggantikan apa yang
biasanya ada dan meletakkan ‘arad{ yang baru sebagai ganti ‘arad{ yang sudah
ada.
Di sinilah terjadi mu‘jizat.
Mu‘jizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan (keluarbiasaan
: kharq al ‘adah). Jadi hukum kausalitas[2] (sebab musabab) tidak ada.
Yang ada adalah pergantian fenomena, yang boleh jadi tetap macamnya sesuai
kehendak Tuhan.
Pengingkaran hukum kaualitas ini
kemudian menjadi dasar utama aliran Ash‘ariyah, sehingga aliran ini tidak
segan-segan menuduh orang yang menganut hukum kausalitas dan menghubungkan
kekuatan bekerja / mewujudkan kepada sebab-sebab lahir, seperti pendirian
filosof-filosof dan materalis, telah menjadi kafir.
Golongan Ash‘ariyah memegangi
teori atom bukan karena hasil penyelidikan akal, akan tetapi karena teori
tersebut merupakan jalan terbaik untuk memperkuat paham yang dianutnya/
ditetapkannya. Keadaan inilah yang menyebabkan Ibn Rusyd menyayangkan sikap
aliran Ash’ariah.
Itulah antara lain pengantar yang
telah dibicarakan al-Baqillani. Akan tetapi amat disayangkan al-Baqillani
mengharuskan orang lain mengikuti pendiriannya, sebab pengantar tersebut tidak
dimuat dalam al-Qur’an maupun Hadits, sedangkan penyelidikan akal dapat
berbeda-beda menurut perbedaan orangnya.
· Perbuatan
Manusia
Kalau bagi Ash’ari perbuatan
manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut al-Baqillani manusia
mempunyai sumbangan efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan
ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapaun bentuk atau sifat dari
gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri
manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya.
Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berbaring,
berjalan dan sebagainya yang merupakan spectes (new’) dari gerak,
adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Tuhan
itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian
kalau bagi al-Ash‘ari daya manusia adalah kasb tidak mempunyai efek, bagi
al-Baqillani daya itu mempunyai efek. Di antara buku-buku karyanya adalah I’jaz
al-Qur’an, al-Milal wan Nihal, Tamhid al-Awail dan lain-lain
Dalam perbedaan faham al-Ash‘ari
dengan al-Baqillani nampaknya yang lebih menuju kearah kebenaran adalah faham
yang dibawa oleh al-Baqillani. Hal ini menunjukkan bahwa al-Baqillani mempunyai
pandangan yang menjurus kepada faham Qadariyah sekaligus menyempurnakan faham
yang dibawa oleh pendahulunya tersebut. Sementara al-Ash‘ari lebih menjurus
kepada faham Jabariyah.[3]
[1] Celah cahaya,
“TEOLOGI AL-BAQILLANI”, dalam http://hindajati.blogspot.com/2009/04/asyariyah-albaqillani.html
(5
April 2009)
[2] Artinya sebab
akibat ; bersifat menimbulkan akibat; suatu prinsip atau keyakinan bahwa setiap
kejadian mempunyai sebab dan dalam
situasi yang sama. Sebab yang sama menimbulkan efek yang sama. Dalam tulisan
Pius A Partanto, Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya :
Arkola, 1994), 318.
[3] Celah
cahaya, “ASH‘ARIYAH AL-BAQILLANI”, dalam http://hindajati.blogspot.com/2009/04/asyariyah-albaqillani.html
(5 April 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar