Translator

Rabu, 10 Oktober 2012



RIWAYAT SINGKAT AL-ASH‘ARI
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bila>l bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Ash‘ari.[1] Menurut beberapa riwayat al-Ash‘ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Ash‘ari adalah seorang yang berfaham ahlu al-Sunnah dan ahli hadith. Ia wafat ketika Ash‘ari masih kecil. Sebelum wafat ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya al-Saji agar mendidik al-Ash‘ari.[2] Sedang Ibu al-Ash‘ari sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Juba‘I (w. 303 H/915 M). Berkat didikan ayah tirinya itu kemudian Ash‘ari menjadi tokoh Mu‘tazilah. Ia sering menggatikan al-Juba‘i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu‘tazilah. Selain itu juga ia sering menulis buku-buku yang membela alirannya.
Al-Ash‘ari menganut faham Mu‘tazilah hanya sampai ia berusia  40 tahun.[3] Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu‘tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi Ash‘ari meninggalkan faham  Mu‘tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi Rasulullah sebanyak tiga kali. Yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramad}an. Dalam ketiga mimpinya itu, Rasu al-Allah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu‘tazilah.[4] Sebab lain bahwa al-Ash‘ari  berdebat dengan gurunya (al-Juba‘i) dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.

Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, [5] berlaku sebagai berikut :
·       Al-Ash‘ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut ? Mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat ?
·       Al-Juba‘I : Yang mu’min mendapat tingkat baik dalam surge, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
·       Al-Ash‘ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surge, mungkinkah itu ?
·       Al-Juba‘I : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karna kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan serupa.
·       Al-Ash‘ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukanlah salahku. Jika sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mu’min itu.
·       Al-Juba‘i : Allah akan menjawab : Aku tahu jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat dosa, dan oleh karna itu akan terkena hukum. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.
·       Al-Ash‘ari : Sekiranya yang kafir mengatakan : engkau ketahui masa depanku sebagaimana engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak jaga kepentinganku ?.
Al-Ash‘ari sendiri menceritakan, pada suatu malam timbul keragu-raguanku tentang aqidah yang aku anut, lalu aku berdiri dan s}alat dua rakaat. Kemudian aku berdoa kepada Allah, supaya diberi-Nya petunjuk ke jalan yang tepat. Lantas aku tidur, tiba-tiba aku melihat Rasul al-Allah dalam mimpiku, maka aku adukan halku kepada beliau, dan Rasul al-Allah bersabda “tetaplah engkau pada sunnahku”. Setelah aku bangun, aku coba bandingkan masalah-masalah teologi (kala>m) dengan apa yang terdapat dalam al-Qura>n dan al-Sunnah. Maka aku berketetapan hati memilih bimbingan yang terdapat pada kedua sumber itu. Dan aku tinggalkan apa yang selama ini aku anut.[6]

DOKTRIN-DOKTRIN TEOLOGI AL-ASH‘ARI
Formulasi pemikiran al-Ash‘ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara antara formulasi artodoks ekstrim di satu sisi dan Mu‘tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu‘tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiyah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullab.[7]
Pemikiran-pemikiran al-Ash‘ari yang terpenting adalah berikut ini :
a.    Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Ash‘ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompk Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensinya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau arsh (kursi) tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, al-Ash‘ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiyah). Selanjutnya, al-Ash‘ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah bebeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
b.    Kebebasan dalam bertindak (free will). Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya, dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariyah yang fatalistik dan menganut paham pra-determinisme semata-mata dan Mu‘tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, al-Ash‘ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.    Qadimnya al-Qur‘an. Al-Ash‘ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya al-Quran. Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa al-Quran diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan madhhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa al-Quran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, al-Ash‘ari mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Quran bagi al-Ash‘ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat :
اِنَّمَا قَوْلُنَالِشَيْءٍ اِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (النّحل : 40)[8]
Artinya : Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “terjadilah”, maka iapun terjadi. (Q.S. al-Nahl ‘16’ : 40).
d.    Melihat Allah. Al-Ash‘ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsh. Selain itu ia tidak sependapat dengan Mu‘tazilah yang mengingkari ru’yatu al-Allah (melihat Allah) di akhirat. Al-Ash‘ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
e.    Kedudukan orang berdosa. Al-Ash‘ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu‘tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya, jika tidak mu’min berarti ia kafir. Oleh karena itu, al-Ash‘ari berpendapat bahwa mu’min yang berbuat dosa besar adalah mu’min yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[9]
AL-ASH‘ARIYAH, PENENGAH JABARIYAH DAN MU‘TAZILAH
Pemikiran al-Ash‘ari tentang al-kasb yang berkaitan dengan perbuatan manusia, tidaklah sama persis dengan faham Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai peran dalam perbuatannya.[10] Menurut al-Ash‘ari ada peran manusia dalam perbuatannya, beliau tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai daya dan kehendak sama sekali, sebab akan membawa kepada pengertian bahwa manusia tidak bisa dan tidak boleh dimintai pertanggung-jawabannya dalam segala hal yang timbul pada dirinya.
Al-Ash‘ari menegaskan ada usaha dari manusia untuk melakukan atau tidak melakukan suatu gerak atau perbuatan, walaupun yang menjadikan gerak atau tidak bergerak itu adalah Allah sendiri. Ia mundul dengan suatu pandangan yang mengatakan ada daya dan kehendak yang diciptakan Tuhan pada manusia. Namun dalam penggunaan daya dan kehendak tersebut, manusia tidaklah terlepas dari campur tangan Tuhan.
Menurut Amin, dalam al-Ash‘ari yang ditulis oleh Nukman Abbas,[11] menyebutkan bahwa madhhab al-Ash‘ari itu adalah madhhab Mu‘tazilah yang telah ia adakan penyesuaian-penyesuaian pada berbagai persoalan, dan ia berhasil menarik pengikut yang banyak serta sangat sukses melahirkan madhhab baru.
Salah satu pendapat al-Ash‘ari ialah bahwa dalam memahami agama, ia tidak setuju hanya dengan berpegang kepada nash semata, karna menurutnya hak itu akan membawa Islam kepada Jumud dan mundur. Sebaliknya ia juga tida setuju dengan terlalu mengagungkan ‘aql, yang menurutnya akan membawa Islam kepada kehancuran al-Dimar. Maka demi kepentingan Islam dan kesatuan ummat, alangkah idealnya memakai nash dan ‘aql sekaligus. Dalam rangka itulah al-Ash‘ari memunculkan teori al-Kasb, dalam pengertian seperti yang digambarkan melalui ungkapan-ungkapan beliau.[12]


[1] Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung : CV. Pustaka Setia,2001), 120.
[2] Ibid., 120.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:Universitas Indonesia,1986), 65.
[4]  Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung : CV. Pustaka Setia,2001), 120.
[5]  Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:Universitas Indonesia,1986), 66.
[6]  Nukman Abbas, Al-Ash‘ari 874-935 (Jakarta : Erlangga) 106.
[7] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam(Bandung : Pustaka Setia, 2001), 121.
[8] Al-Qura>n, 16 : 40.
[9] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam(Bandung : Pustaka Setia, 2001), 121-124.
[10] Nukman Abbas, Al-Ash‘ari 874-935 (Jakarta : Erlangga) 235.
[11] Nukman Abbas, Al-Ash‘ari 874-935 (Jakarta : Erlangga) 237.
[12] Ibid., 238.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar