RIWAYAT
SINGKAT AL-ASH‘ARI
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il
bin Abdillah bin Musa bin Bila>l bin
Abi Burdah bin Abi Musa al-Ash‘ari.[1]
Menurut beberapa riwayat al-Ash‘ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M.
Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana
pada tahun 324 H/935 M.
Menurut
Ibn Asakir, ayah Ash‘ari adalah seorang yang berfaham ahlu al-Sunnah dan
ahli hadith. Ia wafat ketika Ash‘ari masih kecil. Sebelum wafat ia
berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya al-Saji
agar mendidik al-Ash‘ari.[2]
Sedang Ibu al-Ash‘ari sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah
yang bernama Abu Ali al-Juba‘I (w. 303 H/915 M). Berkat didikan ayah tirinya
itu kemudian Ash‘ari menjadi tokoh Mu‘tazilah. Ia sering menggatikan al-Juba‘i
dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu‘tazilah. Selain itu juga ia sering
menulis buku-buku yang membela alirannya.
Al-Ash‘ari
menganut faham Mu‘tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun.[3]
Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid Bashrah
bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu‘tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.
Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi Ash‘ari meninggalkan faham Mu‘tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi
Rasulullah sebanyak tiga kali. Yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan
Ramad}an. Dalam ketiga mimpinya itu, Rasu al-Allah memperingatkannya agar
meninggalkan faham Mu‘tazilah.[4]
Sebab lain bahwa al-Ash‘ari berdebat
dengan gurunya (al-Juba‘i) dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab
tantangan murid.
Salah
satu perdebatan itu, menurut al-Subki, [5] berlaku
sebagai berikut :
· Al-Ash‘ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut ? Mukmin,
kafir dan anak kecil di akhirat ?
· Al-Juba‘I : Yang mu’min mendapat tingkat baik dalam surge, yang
kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
· Al-Ash‘ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih
tinggi di surge, mungkinkah itu ?
· Al-Juba‘I : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karna
kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan serupa.
· Al-Ash‘ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukanlah
salahku. Jika sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mu’min itu.
· Al-Juba‘i : Allah akan menjawab : Aku tahu jika engkau terus hidup,
engkau akan berbuat dosa, dan oleh karna itu akan terkena hukum. Maka untuk
kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung
jawab.
· Al-Ash‘ari : Sekiranya yang kafir mengatakan : engkau ketahui masa
depanku sebagaimana engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak
jaga kepentinganku ?.
Al-Ash‘ari
sendiri menceritakan,
pada suatu malam timbul keragu-raguanku tentang aqidah yang aku anut,
lalu aku berdiri dan s}alat
dua rakaat. Kemudian aku berdoa kepada Allah, supaya diberi-Nya petunjuk ke
jalan yang tepat. Lantas aku tidur, tiba-tiba aku melihat Rasul al-Allah dalam
mimpiku, maka aku adukan halku kepada beliau, dan Rasul al-Allah bersabda
“tetaplah engkau pada sunnahku”. Setelah aku bangun, aku coba bandingkan
masalah-masalah teologi (kala>m) dengan apa yang terdapat dalam al-Qura>n dan al-Sunnah. Maka aku
berketetapan hati memilih bimbingan yang terdapat pada kedua sumber itu. Dan
aku tinggalkan apa yang selama ini aku anut.[6]
DOKTRIN-DOKTRIN
TEOLOGI AL-ASH‘ARI
Formulasi pemikiran al-Ash‘ari,
secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara antara formulasi
artodoks ekstrim di satu sisi dan Mu‘tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya,
pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas
menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu‘tazilah, sebuah reaksi yang tidak
dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt, barangkali
dipengaruhi teologi kullabiyah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullab.[7]
Pemikiran-pemikiran
al-Ash‘ari yang terpenting adalah berikut ini :
a.
Tuhan dan
sifat-sifat-Nya. Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai
sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan
Allah adalah wajib. Al-Ash‘ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu
pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan
kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat
yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami
menurut arti harfiyahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompk
Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain
esensinya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau arsh (kursi) tidak
boleh diartikan secara harfiyah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut,
al-Ash‘ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiyah,
melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiyah). Selanjutnya,
al-Ash‘ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah
bebeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah)
tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
b.
Kebebasan dalam
bertindak (free will). Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk
memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya, dari dua pendapat
yang ekstrim, yakni jabariyah yang fatalistik dan menganut paham pra-determinisme
semata-mata dan Mu‘tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan
berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, al-Ash‘ari
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta
(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan
(muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu
(termasuk keinginan manusia).
c.
Qadimnya
al-Qur‘an. Al-Ash‘ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan
qadimnya al-Quran. Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa al-Quran diciptakan (makhluk)
sehingga tidak qadim serta pandangan madhhab Hanbali dan Zahiriyah yang
menyatakan bahwa al-Quran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak
diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi
al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu, al-Ash‘ari mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas
kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Quran bagi al-Ash‘ari
tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat :
اِنَّمَا قَوْلُنَالِشَيْءٍ اِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ
نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (النّحل : 40)[8]
Artinya : Jika
kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “terjadilah”, maka iapun terjadi.
(Q.S. al-Nahl ‘16’ : 40).
d.
Melihat Allah.
Al-Ash‘ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama
Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai
bahwa Allah bersemayam di Arsh. Selain itu ia tidak sependapat dengan
Mu‘tazilah yang mengingkari ru’yatu al-Allah (melihat Allah) di akhirat.
Al-Ash‘ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat
digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihat-Nya.
e.
Kedudukan orang
berdosa. Al-Ash‘ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu‘tazilah. Mengingat
kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang
haruslah salah satu di antaranya, jika tidak mu’min berarti ia kafir.
Oleh karena itu, al-Ash‘ari berpendapat bahwa mu’min yang berbuat dosa
besar adalah mu’min yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena
dosa selain kufr.[9]
AL-ASH‘ARIYAH, PENENGAH JABARIYAH DAN MU‘TAZILAH
Pemikiran al-Ash‘ari
tentang al-kasb yang berkaitan dengan perbuatan manusia, tidaklah sama
persis dengan faham Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai
peran dalam perbuatannya.[10] Menurut al-Ash‘ari ada
peran manusia dalam perbuatannya, beliau tidak setuju dengan pendapat yang
mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai daya dan kehendak sama sekali, sebab
akan membawa kepada pengertian bahwa manusia tidak bisa dan tidak boleh
dimintai pertanggung-jawabannya dalam segala hal yang timbul pada dirinya.
Al-Ash‘ari menegaskan
ada usaha dari manusia untuk melakukan atau tidak melakukan suatu gerak atau
perbuatan, walaupun yang menjadikan gerak atau tidak bergerak itu adalah Allah
sendiri. Ia mundul dengan suatu pandangan yang mengatakan ada daya dan kehendak
yang diciptakan Tuhan pada manusia. Namun dalam penggunaan daya dan kehendak
tersebut, manusia tidaklah terlepas dari campur tangan Tuhan.
Menurut Amin, dalam al-Ash‘ari
yang ditulis oleh Nukman Abbas,[11] menyebutkan bahwa madhhab
al-Ash‘ari itu adalah madhhab Mu‘tazilah yang telah ia adakan
penyesuaian-penyesuaian pada berbagai persoalan, dan ia berhasil menarik
pengikut yang banyak serta sangat sukses melahirkan madhhab baru.
Salah satu pendapat al-Ash‘ari
ialah bahwa dalam memahami agama, ia tidak setuju hanya dengan berpegang kepada
nash semata, karna menurutnya hak itu akan membawa Islam kepada Jumud
dan mundur. Sebaliknya ia juga tida setuju dengan terlalu mengagungkan ‘aql,
yang menurutnya akan membawa Islam kepada kehancuran al-Dimar. Maka
demi kepentingan Islam dan kesatuan ummat, alangkah idealnya memakai nash
dan ‘aql sekaligus. Dalam rangka itulah al-Ash‘ari memunculkan teori al-Kasb,
dalam pengertian seperti yang digambarkan melalui ungkapan-ungkapan beliau.[12]
[1] Abdul Rozak,
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung : CV. Pustaka Setia,2001), 120.
[2] Ibid., 120.
[3] Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:Universitas
Indonesia,1986), 65.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:Universitas Indonesia,1986),
66.
[8] Al-Qura>n, 16 : 40.
[11] Nukman Abbas, Al-Ash‘ari
874-935 (Jakarta : Erlangga) 237.
[12] Ibid., 238.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar