PENDAHULUAN
Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif,
teori belajar humanistik juga penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik,
proses belajar harus dimulai dan ditunjukkan untuk kepentingan memanusiakan
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih
abstrak dan lebih mendekati kajian filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi,
dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori belajar ini lebih banyak berbicara
tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan,
serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal, dengan kata
lain teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang
paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya.
Seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainya.
PENGERTIAN TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Humanistik berasal dari Human/al-Insa>nyang berarti manusia[1]secara
sederhana berarti “kemanusiaan”.[2]
berasal dari bahasa latin humanus
yang berarti “bersifat manusia”.[3]
atau sesuai kodrat manusia, yang diturunkan dari akar kata homo yang berarti manusai. Secara terminologi, humanistik dapat
diartikan dalam pengertian :Historical Humanism, Ethichal Humanism,
Philosopical Humanism, Sociological Humanism, Religius Humanism, dan
Literary Humanism.[4]
Humanisme lebih melihat
pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian,
yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan bertindak positif ini yang kemudian disebut sebagai potensi, manusia
dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya
pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif erat kaitannya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi adalah
karakteristik yang sangat kuat yang tampak dari para pendidik beraliran
humanisme.
Muhammad Thabroni dan
Arif Mustofa dalam bukunya Belajar & Pembelajaran artikel menyebutkan bahwa
Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut
Abraham yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya.[5]
Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kpribadian manusia dari pada
berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori
psikoanalisis Freudian. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit”
tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan
hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini, yang disebut sebagai
potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik.[6]
Yang biasanya memfokuskan pengajarannya
pada pembangunan kemampuan positif ini.
TEORI BELAJAR HUMANISTIK MENURUT PAKAR
1. Kolb.
Kolb membagi tahapan
belajar menjadi empat tahap. Yaitu :
a.
Tahap pengalaman kongkret. Tahap paling dini
dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu
kejadian. Dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.
Diapun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi
seperti itu.
b. Pengalaman Aktif dan
Reflektif. Pada tahao kedua, siswa mulai mampu mengadakan observasi terhadap
suatu kejadian dan mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
c. Konseptualisasi. Pada
tahap ketiga siswa mulai belajar membuat abstraksi atau teori tentang suatu hal
yang pernah diamatinya. Siswa diharapkan mampu membuat aturan-aturan umum
(generalisasi) dari berbagai contoh kejadian meskipun tampak berbeda-beda,
mempunyai aturan yang sama.
d. Eksperimentasi aktif.
Pada tahap akhir siswa mampu mengaplikasi suatu aturan umum ke situasi yang
baru. Misalnya dalam matematika, asal-usul sebuah rumus. Akan tetapi ia juga
memaknai rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang belum pernah ia temui
sebelumnya.
Menurut Kolb, sistem
belajar semacam ini terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung tanpa
disadari.
2.
Honey dan
Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, honey dan mumford membuat
penggolongan siswa menjadi empat macam : Aktivis, reflektor, toritis dan
pragmatis.[7]
a.
Tipe
siswa aktivis bercitrakan mereka yang suka melibatkan diri pada
pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah
diajak berdialog. Namun, siswa semacam ini biasanya kurang skeptip terhadap
sesuatu, kadang identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar,
mereka menyukai metode yang mampu mendorong mereka menemukan hal-hal baru,
seperti brainstorming atau problem solving. Akan tetapi, mereka
akan cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam
implementasi.
b.
Tipe
siswa reflektor adalah sebaliknya. Mereka cenderung sangat berhati-hati
mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung
konservatif. Yaitu mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik
buruk suatu keputusan.
c.
Tipe
siswa teoritis biasanya sangat kritis, senang menganalisis dan tidak menyukai
pendapat atau penilaian yang sifatnya sangat subjektif. Bagi mereka, berfikir
secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka juga biasanya sangat
skeptik dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.
d.
Tipe
siswa pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari
segala hal. Menurut mereka, teori memang penting. Namun apabila teori tidak
dipraktikkan tidak akan berhasil. Siswa tipe ini suka berlarut-larut dalam
membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu.
3.
Habermas
Ahli psikologi lainnya
adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh
interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi
ini, habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian.[8]
a. Belajar teknis (Technical Learning), siswa belajar
bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya, mereka berusaha menguasai dan
mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan untuk itu.
b. Belajar praktis (Practical Learning), dalam belajar
praktis siswa juga belajar berinteraksi. Akan tetapi, pada tahap ini lebih
dipentingkan adalah interaksi antara dirinya dan orang-orang disekelilingnya.
Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai pemahaman
yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman
terhadap alam justru relevan dan jika hanya berkaitan dengan kepentingan
manusia.
c. Belajar Emansipatoris (Emancipatoris Learning), dalam tahap
ini, siswa berusaha mencapai pemahaman kesadaran yang sebaik mungkin tentang
perubahan kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan
kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling
tinggi. Sebab tronsformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan
pendidikan yang paling tinggi.
4.
Bloom dan
Krathwohl
Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang dikuasai oleh
siswa yang mencakup tiga kawasan berikut ini.
a.
Kognitif,
yang terdiri dari enam tingkatan :
1). Pengetahuan (mengingat dan menghafal)
2). Pemahaman (menginterpretasikan)
3). Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu
masalah).
4). Analisi (menjabarkan suatu konsep).
5). Sintesis ( menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi
suatu konsep utuh).
6). Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan
sebagainya).
b.
Psikomotor,
yang terdiri dari :
1). Peniruan (menirukan gerak).
2). Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan
gerak).
3). Ketepatan (melakukan gerak dengan benar).
4). Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus
dengan benar).
5). Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
c.
Afektif,
terdiri dari lima tingkatan :
1). Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya
sesuatu).
2). Merespon (aktif berpartisipasi).
3). Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada
nilai-nilai tertentu).
4). Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai
sebagai bagian dari pola hidup).
Taksonomi Bloom ini berhasil memberi inspirasi kepada
banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran.
Pada tingkat yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi
pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan pembelajaran ke dalam bahasa
yang lebih mudah dipahami, dijalankan, dan diukur. Dari berbagai macam
taksonomi belajar, taksonomi Bloom merupakan yang paling populer.
Selain itu, teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman
untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan orang-orang yang sering mengkritik
taksonomi tersebut. Kritikan atas klasifikasi kemepuan yang dikemukakan Bloom
ternyata diperbaiki oleh para pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada
aspek kognitif.[9]
Dalam klasifikasi taksonominya pada aspek kognitif, Bloom
mengemukakan enam tingkatan kemampuan yang meliputi pengetahuan, pemahaman,
penerapan, analisis, sistesis dan evaluasi. Menurut Muhammad Thabrani dan Arif
Mustofa dalam bukunya yang berjudul belajar dan pembelajaran, melalui pakar
pendidikan, seperti Peter W. Airasian, Kathleen A. Cruikhsank, Ricard E. Meyer,
Paur E. Pitrich, James Raths dan Merlin C. Wittrock. Mengadakan revisi aspek
kemampuan kognitif tersebut dengan
memilih dua dimensi, yaitu dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif.[10]
a.
Dimensi
Pengetahuan
Memuat objek ilmu yang disusun dari:
1.
Pengetahuan
fakta
2.
Pengetahuan
konsep
3.
Pengetahuan
prosedural
4.
Pengetahuan
meta-kognitif
b.
Dimensi
Proses Kognitif
Memuat enam tingkatan
1.
Mengingat
2.
Mengerti
3.
Menerapkan
4.
Menganalisis
5.
Mengevaluasi
6.
Mencipta
5.
Abrham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu
ada dua hal, yaitu :
a.
Suatu
usaha yang positif untuk berkembang.
b.
Kekuatan
untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengumumkan bahwa individu berprilaku dalam upaya
untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan
takut, seperti rasa takut unutk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil
kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki, dan sebagainya. Akan
tetapi, di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah
keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah
kepercayaan diri menghadapi dunia luar, dan pada saat itu juga ia dapat
menerima diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) mausia menjadi utuh hierarki. Bila seseorang telah dapat
memenuhi kebutuhan pertama, sepert kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat
menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan
ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini
mempunyai implikasi penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia
mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini
mungkin berkembang jika kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
KEKURANGAN
DAN KELEBIHAN TEORI HUMANISTIK
Kelebihan teori
humanistik dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Teori ini
cocok untuk diterapakan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kpribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial.
2.
Indikator
keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar, dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku, serta sikap atas
kemauan sendiri.
3.
Siswa
diharapkan menjadi siswa yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak
orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.[11]
Adapun kekurangan teori humanistik, yaitu siswa yang tidak mau
memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
Dalam sumber lain menyebutkan :
1. Kelebihan :
a. Bersifatpembentukankepribadian,hatinurani,perubahansikap,analisisterhadapfenomenasocial.
b. Siswamerasasenang,berinisiatifdalambelajar.
c. Guru
menerimasiswaapaadanya,memahamijalanpikiransiswa.
2. Kekurangan:
a. Bersifat
individual.
b. Proses
belajartidakakanberhasiljikatidakadamotivasidanlingkungan yangmendukung.
APLIKASI
TEORI BELAJAR HUMANISIK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
Teori Humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam
konteks yang lebih praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang
filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan,
sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih kongkret
dan praktis, namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka
teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran
untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan
diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan,
yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat peru
diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya,
pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan
karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam
merencanakan pembelajaran. Karna seorang akan dapat belajar dengan baik jika
mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan
secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian teori humanistik
mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai.[13]
Teori Humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam
memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran
apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk
mencapai tujuannya. Meskipun teori ini masih sukar diterjemahkan ke dalam
langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan oprasional, namun sumbangan teori
ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah
dirumuskan dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami apa hakekat
kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan
komponen-komponen pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan
manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis,
tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang
telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur
dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk
siswa.Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif,
mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif
dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara ekspilisit belum ada
pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan Humanistik.[14]
Dalam teori ini siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Ketika siswa memahami potensi diri, diharapkan
siswa dapat mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses
belajarnya dari pada hasil belajar. Sedangkan, proses umumnya dilalui adalah
sebagai berikut :
1.
Merumuskan
tujuan belajar
2.
Mengusahakan
partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan
positif.
3.
Mendorong
siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif
sendiri.
4.
Mendorong
siswa untuk peka berfikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara aktif.
5.
Siswa
didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya, melakukan apa
yang diinginkan, dan menanggung resiko perilaku yang ditunjukkan.
6.
Guru
menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai
secara normatif, tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala
resiko proses proses belajarnya.
7.
Memberikan
kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
8.
Evaluasi
diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.[15]
IMPLIKASI
TEORI BELAJAR HUMANISTIK
1.
Guru
sebagai fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberikan berbagai
kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Cara ini merupakan ihtisar
yang sangat singkat dari petunjuk berikut ini.
a.
Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan sesuai suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas.
b.
Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
2.
Guru
mempercayai adanya keninginan dari masing-masing sisea untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna dagi dirinya sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
3.
Guru
mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
4.
Guru
menempatkan dirinya sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
5.
Di dalam
menggapai ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, menerima baik isi yang
bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan. Serta mencoba untuk menanggapi
dengan cara yang sesuai, baik bagi individual maupun kelompok.
6.
Bila
cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan
sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan
turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang
lain.
7.
Guru
mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaanya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan. Tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak para siswa.
8.
Guru
harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar.
9.
Di dalam
berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba mengenali dan
menerima keterbatasan-keterbatasan dirinya.[16]
AFTAR
PUSTAKA
Al-hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu
al-Quran. Jakarta: Amzah, 2008.
Budiningsih, Asri. Belajar &
Pembelajran. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012.
Muhammad Thabroni & Arif Mustofa. Belajar
dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Partanto, Pius A. Al-barry, Dahlan. Kamus Ilmiyah populer. Surabaya:
Arloka, 2001.
Mushlihin al-Hafizh, “Pengertian Humanisme”, dalam
http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-humanisme.html
[1]Ahsin W.
Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Quran
(Jakarta: Amzah, 2008), 118.
[2]Kamus
ilmiyah (belum)
[3]Mushlihin
al-Hafizh, “Pengertian Humanisme”, dalam http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-humanisme.html
[4]Mushlihin
al-Hafizh, “Pengertian Humanisme”, dalam http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-humanisme.html
[5]Muhammad
Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan
Pembelajaran (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), 157.
[6]Ibid., 158.
[7]Muhammad
Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan
Pembelajaran, 160.
[8]Muhammad
Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan
Pembelajaran, 161.
[9]Muhammad
Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan
Pembelajaran, 164.
[10]Muhammad
Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan
Pembelajaran, 164.
[11]Muhammad
Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan
Pembelajaran, 176.
[12]
http://www.scribd.com/doc/109348358/Kekurangan-Dan-Kelebihan-Teori-Humanistik
[13]Asri
Budiningsih, Belajar dan pembelajaran
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), 76.
[14]Ibid., 76.
[15]Muhammad
Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan
Pembelajaran, 178.
[16]Muhammad
Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan
Pembelajaran, 179.
makasih
BalasHapusMy blog