Translator

Selasa, 15 Oktober 2013

Ilmu Pengetahuan dan Nilai

PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan, terutama penidikan tinggi, boleh dikatan setiap waktu istilah ilmu selalu dikatakan dan suatu ilmu diajarkan. Tampaknya telah menjadi kelaziman bahwa sebutan yang dipergunakan ialah ilmu pengetahuan. Walaupun setiap saat diucapkan, dan dari waktu ke-waktu diajarkan, namun tidak banyak dilakukan pembahasan mengenai ilmu itu sendiri. Rupanya apa pengertian ilmu dengan sendirinya dapat dipahami tampa memerlukan keterangan lebih lanjut. Tetapi apabila harus memberikan perumusan yang tepat dan cermat mengenai pengertian ilmu, barulah orang akan merasa hal itu tidaklah begitu mudah. Hal ini sebenarnya sudah terlihat dalam penyebutan istilah ‘ilmu pengetahuan’ yang telah demikian lazim dalam masyarakat termasuk dunia perguruan tinggi yang sesungguhnya merupakan suatu penyebutan yang kurang tepat dan tidak cermat. Istilah ilmu pengetahuan merupakan suatu pleonasme, yakni pemakaian lebih daripada satu perkataan yang sama artinya. Untuk pengertian yang dicakup kata inggris science cukuplah disebut ilmu saja tampa penambahan perkataan pengetahuan.
PENGERTIAN ILMU
Istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih daripada satu arti. Oleh karna itu, dalam memaknai istilah tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-sekurangnya menyadari arti nama yang dimaksud. Menurut cakupannya pertama-tama ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Jadi, dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu seumumnya (science is general).
Arti yang kedua dari ilmu, menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu pokok soal tertentu. Dalam arti ini ilmu berarti suatu cabang ilmu khusus, seperti misalnya antropologi, biologi, geografi, atau sosiologi. Istilah inggris science kadang-kadang diberi arti sebagai ilmu khusus yang lebih terbatas lagi, yakni sebagai pengetahuan sistemastis mengenai dunia fisis atau material (syintematic knowledge of the physical or material world).[1]
Istilah science juga sering dipakai untuk menunjuk gugusan ilmu-ilmu kealaman atau natural science. natural science inilah yang tampaknya dalam pendidikan Indonesia diterjemahkan menjadi ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Natural sciences terjemahannya yang lebih tepat adalah ilmu-ilmu kealaman. Tidaklah sama dengan ilmu alam dalam arti fisika (istilah inggrisnya physics), melainkan memiliki cakupan yang lebih luas dari pada fisika. Kemudian pembahasan selanjutnya mengenai ilmu terhadap ilmu seumumnya.
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang yang terbaca dalam pustaka menunjuk pada sekurang-sekurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam hal yang pertama dan ini yang terumum, ilmu senantiasa berarti pengetahuan (knowledge). Di antara para filsuf dari berbagai dalam aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (any systematic body of knowledge). Seorang filsuf yang meninjau ilmu Jhon G. Kemeny juga memakai istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by means of the scientific method).[2]
Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. [3]
SYARAT-SYARAT ILMU
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
1.      Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2.      Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3.      Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4.      Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180ยบ. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.[4]
DEFINISI PENGETAHUAN
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia  of philoshopy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).[5]
Sedangkan secara terminologi akan dikemukakan beberapa devinisi tentang pengetahuan. Menurut beberapa ahli sebagai berikut :
a.    Menurut Drs. Sidi Gazalba pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan hasil tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran, dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
b.    Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Kemudian dalam artian luas adalah semua kehadiran internasional objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran, kepastian). Di sini subjek sadar akan hubungan objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karna sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam dirinya.
c.    Orang pragmatis, terutama John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi.[6]
ILMU DAN PENGETAHUAN
Adapun kata ilmu (science) diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang sesuatu, atau bagian dari pengetahuan.[7] Menurut J.S. Badudu (1996:528) ilmu adalah : pertama, diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis, seperti ilmu agama yang berarti pengetahuan tentang ajaran agama atau teologi, ilmu bahasa berarti pengetahuan tentang hal-ikhwal bahasa atau tata bahasa. Kedua, ilmu diartikan sebagai kepandaian atau kesaktian, sebagai contoh dalam penggunaan kata yang kedua ini : sudah lama ia menuntut “ilmu” atau “kesaktian” dari jago tua itu. Dan orang yang banyak memiliki ilmu pengetahuan mengenai suatu ilmu disebut ‘ilmuan’ atau orang yang ahli dalam bidang tertentu.
Sedangkan Maufur (2008: 30), menjelaskan bahwa ilmu adalah sebagian dari pengetahuan yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu, artinya ilmu tentu saja merupakan pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu. Karna pengetahuan untuk dapat dikategorikan sebagai ilmu harus memenuhi beberapa persyaratan.
Menurut Maufur, beberapa syarat yang perlu dipenuhi oleh suatu pengetahuan untuk dapat masuk kategori sebagai ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :
·      Sistematis, yakni ada urutan dari awal hingga akhir, dan ada hubungan yang bermakna antara bagian-bagian atau fakta satu fakta dengan fakta lainnya yang tersusun secara runtut.
·      General, yaitu keumuman sifatnya yang bisa berlaku di manapun (lintas ruang dan waktu dengan keterbatasannya) berkaitan dengan keterbatasannya. Atau bisa juga disebut universal karna dapat dikomunikasikan kapan dan di manapun.
·      Rasional, maksudnya adalah bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaida-kaidah logika.
·      Objektif, adalah apa adanya mengungkap reaalitas yang s}ahih bagi siapa saja. Sesuatu sebagai sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui.
·      Menggunakan metode tertentu dalam mempertanyakan objek tertentu, mencari dan menemukan sesuatu sebagai kebenaran dan secara terus-menerus. Karna ilmu pengetahuan akan terus berkembang ketika ditemukan jawaban sekaligus memunculkan pertanyaan susulan, dan terus dicari jawabannya lagi.
·      Dapat dipertanggung jawabkan dengan menggunakan argumentasi logis rasional, apalagi jika telah melalui eksperimen yang berulang kali.[8]
Sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Alexander Bird tentang pendapat seorang ahli mengenai ilmu, yaitu William R. Overton, “a scientific has the following features :
·      It is guided by natural law.
·      It has to be explanatory by reference to natural law.
·      It is testable against the empirical world.
·      It is conclutions are tentative, i.e. are not secessarily the final word.
·      It is falsifiable”.[9]
Ada sebagian ahli yang berpendapat bahwa pengetahuan dengan ilmu tidaklah berbeda. Pengetahuan (knowledge) bagi mereka tak ubahnya sebagai ilmu (science), sehingga ilmu dengan pengetahuan tidaklah berbeda. Sebagian lagi memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan atau penegetahuan ilmiah. Sebagaimana dinyatakan M. T{oyibi (1994 : 35), “pengetahuan ilmiah tidak lain adalah a higher level dalam perangkat pengetahuan manusia, dalam arti umum sebagaimana saksikan dalam kehidupan sehari-hari”.[10] Sedangkan dalam Encyclopedia of Philosophy, pengetahuan disebutnya sebagai justified True Belief, yakni kepercayaan yang benar. Sedangkan menurut Amal Bahtiar (2005) pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. [11]
Menurut Maufur (2008: 26), pengetahuan adalah sesuatu atau semua yang diketahui dan dipahami atas dasar kemapuan kita berfikir, merasa, maupun mengindra, baik diperoleh secara sengaja maupun tidak sengaja. Pengetahuan menurut maufur adalah sesuatu yang diperoleh melalui berfikir, merasa dan mengindra. Mengindra yang dimaksud di sini adalah bisa dengan cara melakukan penelitian dan observasi, pengamatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Selanjutnya, Maufur menjelaskna bahwa pengetahuan merupakan seluruh keterangan dan ide yang terkandung dalam pertanyaan-pertanyaan yang dibuat mengenai suatu gejala/peristiwa, baik yang bersifat alamiah, sosial, maupun individual. Dengan demikian, pengetahuan pada dasarnya merupakan keseluruhan penjelasan dan gagasan yang terkandung pada pernyataan-pernyataan berkaitan dengan gejala atau peristiwa yang mengandung fakta.[12]
Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. “Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia. Sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transcendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunya memang tidak mencakup permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi computer maka komputer ilmu memang tidak diprogramkan untuk itu”.[13]
HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa arab, ‘alima-ya’lamu, ‘ilman’. Yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris istilah ilmu berasal dari kata science yang berasal dari kata scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui. Istilah ilmu dan sains menurut Mulyadhi Kartanegara (2003;1) tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau indrawi, sedangkan ilmu melampaui pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika.
Menurut The Liang Gie (1996): 88) ilmu sebagai pengetahuan, aktifitas, atau metode merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan. Ilmu adalah rangkaian aktifitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu, yang akhirnya aktivitas metodis itu menghasilkan pengetahuan ilmiyah.[14]
Menurut W. Atmojo (1998: 324) ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.[15]
Adapun menurut Bahm (dalam Koento Wibisono, 1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution) dan pengaruh (effects).[16]
Secara khusus, Suparlan Suhartono (2005: 84) mengemukakan tentang perbedaan makna antara ilmu dan pengetahuan. Dengan mengambil rujukan dari Webster’s Dictionary, Suparlan menjelaskan bahwa pengetahuan (knowledge), adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science) di dalamnya terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematis, metodis, ilmiah dan mencakup kebenaran  umum mengenai objek studi yang lebih bersifat fisis (natural). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengetahuan memiliki cakupan lebih luas dan umum daripada ilmu. Oleh karna itu keberadaan ilmu dan pengetahuan hendaknya tidak boleh dipisahkan, sama pentingnya bagi hidup dan kehidupan. Ilmu membentuk daya intelegensia, yang melahirkan adanya skill atau keterampilan yang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang kemudian melahirkan tingkah laku kehidupan manusia.
Sejalan dengan pandangan-pandangan para penulis di atas, bahwa ilmu dan pengetahuan memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di mana ilmu adalah hasil dari pengetahuan, dan pengetahuan adalah hasil tahu (ilmu) manusia terhadap sesuatu objek yang dialaminya. Atau dengan kata lain, ilmu itu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.
SIFAT ILMU PENGETAHUAN
Selama manusia mempunyai rasa ingin tahu, selama itulah pengetahuan akan terus berkembang. Akan tetapi, tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu. Ada beberapa sifat/kriteria yang mesti dipenuhi agar sebuah pengetahuan layak dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan, yaitu :
1.      Rasional, Ilmu pengetahuan didasarkan atas kegiatan berpikir secara logis dengan menggunakan rasa (nalar) dan hasilnya dapat diterima oleh nalar manusia.
2.      Objektif, Kebenaran yang dihasilkan suatu ilmu merupakan kebenaran pengetahuan yang jujur, apa adanya sesuai dengan kenyataan objeknya, serta tidak tergantung pada suasana hati, prasangka atau pertimbangan nilai pribadi. Objek dan metode ilmu tersebut dapat dipelajari dan diikuti secara umum. Kebenaran itu dapat diselidiki dan dibenarkan oleh ahli lain dalam bidang ilmu tersebut melalui pengujian secara terbuka yang dilakukan dari pengamatan dan penalaran fenomena.
3.      Akumulatif, Ilmu dibentuk dengan dasar teori lama yang disempurnakan, ditambah, dan diperbaiki sehingga semakin sempurna. Ilmu yang dikenal sekarang merupakan kelanjutan dari ilmu yang dikembangkan sebelumnya. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan bersifat relatif dan temporal, tidak pernah mutlak dan final. Dengan demikian, ilmu pengetahuan bersifat dinamis danterbuka.
4.      Empiris, Kesimpulan yang diambil harus dapat dibuktikan melalui pemeriksaan dan pembuktian pancaindra, serta dapat diuji kebenarannya dengan fakta. Hal ini yang membedakan antara ilmu pengetahuan dengan agama.
5.      Andal dan Dirancang. Ilmu pengetahuan dapat diuji kembali secara terbuka menurut persyaratan dengan hasil yang dapat diandalkan. Selain itu, ilmu pengetahuan dikembangkan menurut suatu rancangan yang menerapkan metode ilmiah.[17]
PENGERTIAN NILAI
Nilai secara singkat dapat dikatakan, ‘perkataan nilai ‘ kiranya mempunyai macam makna seperti berikut mengandung nilai (berguna bagi kehidupan baik dalam masyarakat maupun kehidupan sehari- hari) merupakan nilai (baik , benar, indah, dapat membedakan apa-apa yang kita lihat rasa, dll) mempunyai nilai (merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap ‘setuju’ atau mempunyai nilai tertentu. Dan
memberi nilai (menggapai sesuatu hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).
Suatu benda atau perbuatan dapat mempunyai nilai, dan berhubungan dengan itu, dapat dinilai. Hal- hal tersebut dapat mempunyai nilai karena mengandung nilai atau menggambarkan suatu nilai. Pernyataan nilai mempunyai nilai kebenaran, dan karena itu bernilai untuk pemberitahuan. Suatu lukisan mempunyai nilai keindahan, dan berhubung dengan itu, bernilai bagi mereka yang menghargai seni, seorang seniman memberi nilai kepada pernyataan- pernyataan yang benar dan pecinta keindahan memberi nilai kepada karya- karya seni.[ Kattsoff, louis o. hal 324 pengantar filsafat, tiara wacana, yogyakata. 2004.
  1. Pengertian tentang nilai
Untuk memahami pengertian nilai Max Scheler, saya mencoba untuk memisahakan terlebih dahulu dua sifat yang terdapat pada nilai (material danapriori), kendati Scheler tidak memisahakan pembahasan dua sifat nilai ini kedalam point-point seperti yang saya lakukan. Akan tetapi, di sini saya mencoba untuk memisahkannya guna memahami pandangannya mengenai nilai tetapi kita tetap diajak unutk mebacanya dalam satu kesatuan.
1.      Nilai Material. Nilai itu material. Material di sini bukanlah dalam arti “ada kaitan dengan materi” melainkan sebagai lawan dari formal, materi sebagai “berisi”. Ber-isi itu berartikualitas nilai tidak berubah dengan adanya perubahan pada barang atau pada pembawanya. Misalnya nilai itu selalu mempunyai isi “jujur”, “enak”, “kudus”, ”benar”, “sehat”, “adil”, yang semuanya itu berbeda dan masing-masing memiliki nilai. Contoh lain, misalnya: pengkhianatan seorang teman tidak mengubah nilai persahabatan. Nilai persahabatn tetap merupakan nilai persahabatan, tidak terpengaruh jika temanku berbalik mengkhianatiku.
2.      Nilai Apriori. Nilai merupakan kualitas apriori. Max Scheler mengatakan bahwa kebernilaian nilai itu mendahului pengalaman. Misalnya: apakah makanan tertentu enak atau tidak, harus kita coba dulu. Akan tetapi, bahwa “yang enak” merupakan sesuatu yang positif, sebuah nilai, dan bahwa yang bernilai “yang enak” dan bukan “yang enak’ itu tidak perlu kita coba dulu. Begitu juga kejujuran, keadilan; bahwa kejujuran, keadilan sendiri merupakan sebuah nilai yang kita ketahui secara langsung begitu kita menyadari apa itu kejujuran dan keadilan. maka, kejujuran dan keadilan pertama-tama bukanlah sebuah konsep mengenai kejujuran dan keadilan melainkan nilai kejujuran dan nilai keadilan.
KRITERIA NILAI
Kelima kriteria yang akan dibahas setidaknya dapat dilihat “semacam pengantar” untuk menunjukkan dan mengarahkan kita kepada hierarki nilai, yang akan dijelaskan pada point selanjutnya. Dengan menggunakan kriteria nilai ini, kita akan dibantu untuk  mengetahui mengapa ada hierarki nilai.
1.      keabadian nilai. Scheler melihat bahwa benda yang lebih bertahan lama (abadi) senantiasa lebih disukai dari pada yang sifatnya sementara dan mudah berubah. Keabadian tentunya tidak harus mengacu pada pengemban nilai. Misalnya, karya seni sastra yang bisa dikatakan memiliki nilai yang abadi, akan tetapi dengan sebatang korek api akan menghancurkan karya seni sastra. Maka dari itu, keabadian sebuah nilai lebih mengacu pada nilai. Scheler menegaskan bahwa “nilai yang terendah dari semua nilai sekaligus merupakan nilai yang pada dasarnya ‘fana’; nilai yang lebih tinggi dari pada semua nilai yang lain merupakan nilai yang abadi.”
2.      Sifat dapat dibagi-bagi. Ketinggian yang dicapai nlai berbanding terbalik dengan sifatnya yang dapat dibagi-bagi, yakni semakin tinggi derajatnya semakin kecil sifatnya untuk dapat dibagi-bagi. Dengan perbedaan derajat dan berdampak lanjut pada sifat nilai, maka dapat dikatakan bahwa benda material memisahkan orang, karena benda harus dimiliki, sedangkan benda spiritual menyatukan orang karena menjadi milik  bersama.  Hal ini mau mengatakan bahwa benda material dengan tingkat kederajatannya yang rendah sehingga memiliki sifat mudah dibagi akan berdampak juga pada personayang berada disekitar benda material tersebut, demikianpun sebaliknya dengan bendaspiritual yang memiliki kederajatannya tinggi sehingga sifatnya yang mudah dibagi-bagi dimimalisir maka benda spiritual dapat dinikmati bersama-sama.
3.      Dasar. Jika suatu nilai menjadi dasar bagi nilai yang lain, nilai tersebut lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dan bagi Scheler dasar nilai yang lebih tinggi dari nilai yang lain adalah nilai keagamaan
4.      Kedalaman kepuasan. Semakin dalam kepuasan dihasilkan semakin tinggilah nilai tersebut. Tetapi kepuasan bukan berarti suatu rasa nikmat melainkan merupakan pengalaman akan kepenuhan batin. Di samping itu juga kepuasan di sini tidak dihubungkan dengan kehendak. Kepuasan berbeda dengan pengalaman akan terwujudnya apa yang diinginkan dan diharapkan. Maka bentuk yang paling murni darikepuasan diberikan dalam perasaan penuh kedamaian dan dalam suatu perasaan yangsecara penuh memiliki suatu hal yang bernilai.
5.      Relativitas. Nilai terhadap suatu nilai yang absolut. Semakin kurang relatif suatu nilai, tingkatannya dalan hierariki semakin tinggi. Nilai yang tertinggi dari semua nilai adalah nilai mutlak.[18]
ILMU BEBAS NILAI
Ilmu-ilmu semakin berkembang dengan pesat, kemudian persoalannya adalah apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorong (1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiyah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagaimana indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagaimana berikut.
a.    Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasharakatan lainnya.
b.    Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c.    Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karna nilai etis itu sendiri bersifat universal.[19]

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers, 2011.
Bayu Endragupta, “Sifat Ilmu Pengetahuan Penjelasan Tentang  Hukum  Alam, dalam http://ml.scribd.com/doc/87442260/1-Tugas-Filsafat-Ilmu.
Bird, Alexander. Philosophy Of Science. Francis : e-Library, 2006
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat ilmu. Yogyakarta : liberty, 1999.
M. Alhada, F.H, “Filsafat ilmu Pengetahuan”, dalam http://hadahabib.blogspot.com/2011/11/makalah-filsafat-ilmu-pengetahuan.html?zx=8b03b4f4595fc9d8 (11 November 2011).
Ryano tagung, “Mengelola Realitas Pluralitas Di Indonesia Darisudut Pandang Filsafat Nilai Max Scheler”, dalam http://ml.scribd.com/doc/22564210/Sumbangan-Filsafat-Nilai-Max-Scheler  (15 November 2009).
Susanto, Filsafat ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2011.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2010.
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2010.



[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta : liberty, 1999), 86.
[2]  Ibid., 87.
[3] M. Alhada, F.H, “Filsafat ilmu Pengetahuan”, dalam http://hadahabib.blogspot.com/2011/11/makalah-filsafat-ilmu-pengetahuan.html?zx=8b03b4f4595fc9d8 (11 November 2011).
[4] M. Alhada, F.H, “Filsafat ilmu Pengetahuan”, dalam http://hadahabib.blogspot.com/2011/11/makalah-filsafat-ilmu-pengetahuan.html?zx=8b03b4f4595fc9d8 (11 November 2011).
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Jakarta : Rajawali Pers, 2011), 85.
[6]  Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Jakarta : Rajawali Pers, 2011), 85-86.
[7]  A. Susanto, Filsafat Ilmu ; Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2011), 44.
[8] A. Susanto, Filsafat ilmu : Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis(Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2011), 45-46.
[9] Alexander Bird, Philosophy Of Science (Francis : e-Library, 2006), 2.
[10] A. Susanto, Filsafat ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis(Jakarta : PT. Bumi Aksara), 46.
[11] Ibid., 46-47.
[12] Ibid., 47.
[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan), 105.
[14] The Liang gie, Pengantar Filsafat ilmu(Yogyakarta : liberty), 88.
[15] A. Susanto, Filsafat ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis(Jakarta : PT. Bumi Aksara), 47.
[16] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia(Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2010), 57.
[17] Bayu Endragupta, “Sifat Ilmu Pengetahuan Penjelasan Tentang  Hukum  Alam, dalam http://ml.scribd.com/doc/87442260/1-Tugas-Filsafat-Ilmu.
[18] Ryano tagung, “Mengelola Realitas Pluralitas Di Indonesia Darisudut Pandang Filsafat Nilai Max Scheler”, dalam http://ml.scribd.com/doc/22564210/Sumbangan-Filsafat-Nilai-Max-Scheler  (15 November 2009).
[19] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia(Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2010), 149.

2 komentar: