Translator

Minggu, 28 Oktober 2012

RIWAYAT SINGKAT AL-JUWAYNI


RIWAYAT SINGKAT AL-JUWAYNI
Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-Allah bin Yusuf bin Muhammad bin ‘Abd al-Allah bin Hayyuwiyah al-Juwayni al-Nisaburi Imam al-Haramayn Abu al-Ma‘ali. Ayahnya ‘Abd al-Allah bin Yusuf bin Muhammad ‘Abd al-Allah bin Hayyuwiyah, berasal daerah Juwayn, sebuah tempat yang terletak di Bustam di antara Jajaram dan Baihaq. [1] Di sana ayahnya dilahirkan dan dibesarkan, di sana pula ia mengenyam pendidikan dari para ‘alim ulama’. Kemudian ‘Abd al-Allah bin Yusuf pergi meninggalkan kampung halamannya menuju Nishapur untuk mencari ilmu pengetahuan. Di Nishapur ia belajar fiqih madhhab Shafi‘iyah dan teologi pada al-Qifal al-Marzawi.
Di Nishapur, ayahnya membeli seorang budak wanita s}alihah dan baik hati dengan uang halal yang diperoleh dengan bekerja. Dari Umm al-Walad inilah lahir ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-Allah, yang kemudian terkenal dengan sebutan Imam al-Haramayn. Tahun lahir ‘Abd al-Malik diperselisihkan para sejarawan. Al-Subki, Brocelmann, L. Gardet, Fauqiyah, ‘Abd al-‘Azim al-Daib, Ibn Khallikan, Ibn Asa>kir, Ibn Kathir, Ibn Fadl al-Allah al-Amri dan al-Samani sepakat mengatakan bahwa al-Juwayni dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419H. atau bertepatan dengan bulan Februari tahun 1028 M, sedangkan tanggal umumnya juga diperselisihkan. Fauqiyah mengatakan bahwa tanggalnya 22, Brockelmann mengatakan tanggal 12, sedangan L. Gardet mengatakan tanggal 17. Walaupun tanggal umumnya diperselisihkan, namun mereka sepakat dalam bulan dan tahun umumnya.[2]
Kembali ke masalah tahun lahirnya, sejarawan lain, seperti Ibn Jawzi dan Ibn Taghri Bardi mengatakan, bahwa al-Juwayni dilahirkan pada tahun 417H. walaupun terdapat perselisihan pendapat atas tahun kelahirannya, namun mereka sepakat bahwa al-Juwani wafat pada tahun 478H. dalam usia 59 tahun. Dengan adanya kesepakatan ini bisa disimpulkan bahwa tahun kelahirannya ialah 419H atau tahun 1028M.[3]
Ketika ayah al-Juwayni wafat pada tahun 438H. Ia menggantikan ayahnya mengajar di majlis ilmiah. Ketika itu usia usia al-Juwayni belum genap 20 tahun. Meskipun al-Juwayni telah menjadi guru namun ia tidak berhenti mencari ilmu. Ia belajar fiqih dan teologi aliran Asha>‘irah pada al-Isfirayni. Ia belajar fiqih madhhab Sha>fi‘iyah dan ilmu hadith pada al-Baihaqi. Pada masa yang sama, ia juga turut menghadiri majlis al-Khabbazi untuk belajar ilmu al-Qura>n. Demikian kegiatan al-Juwayni sebelum ia pergi meninggalkan Nishapur untuk beberapa lama. Di samping memperdalam ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, ia meneruskan mengajar di sekolah atau majlis yang didirikan oleh ayahnya. Ia menafsirkan fikih madhhab Sha>fi‘iyah dan mempertahankan teologi madhhab Asha>‘irah dari serangan-serangan musuh yang ingin menghancurkannya.
Ketika terjadi fitnah al-Kunduri (sekitar antara tahun 443H dan 447H), al-Juwayni meninggalkan Nishapur menuju Mu‘askar, Ishfahan, Baghdad, Hijaz dan yang terakhir Makkah.[4] Ia menetap di Makkah selama beberapa tahun. Ia pernah menjadi guru agama di dua tempat suci Makkah dan Madinah. Oleh sebab itu ia terkenal dengan sebutan Imam al-Haramayn, berarti guru agama di dua tempat suci masjid al-Nabawi di madinah dan masjid al-Haram di Makkah.[5]
DASAR TEOLOGI AL-JUWAYNI
Teologi dalam arti sederhana adalah pembahasan soal-soal yang berkaitan dengan diri Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, terutama hubungan-Nya dengan manusia. Manusia sebagaimana telah disebut, merupakan satu-satunya mahluk yang paling sempurna akalnya dan mempunyai perasaan. Hanya merekalah yang sannggup mengadakan pembahasan. Menurut al-Juwayni ditinjau dari segi Shari‘at yang terdiri dari ijma‘ ulama‘, manusia wajib mengetahui Tuhannya. Cara memperoleh pengetahuan tentang Tuhan adalah dengan mengadakan penalaran akal. Dengan begitu, cara untuk mencapai sesuatu yang wajib, menjadi wajib pula hukumnya. Artinya, karena mengetahui Tuhan merupakan kewajiban dan kewajiban itu bisa terlaksana bila menggunakan penalaran aka, maka penalaran akal wajib pula hukumnya.[6]
Beberapa contoh pemikiran al-Juwayni :
a.    Mengenai sifat-sifat Tuhan
Menurut Thuroya, Di dalam buku al-Irsha>d, al-Juwayni mengawali pembahasannya tentang sifat-sifat Tuhan dengan membagi apa yang wajib, mustahil dan boleh pada Tuhan. [7]
1.      Yang wajib bagi Tuhan. Apa yang wajib ada pada Tuhan adalah sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat wajib ini dibagi menjadi dua :
a.       Sifat-sifat Nafsiyah. Yang dimaksud dengan sifat-sifat  nafsiyah (sifat diri) bagi al-Juwayni, bahwa setiap sifat yang ada pada diri (nafs), yang ada karena adanya diri tersebut. Sifat-sifat itu bukan terjadi akibat dari suatu sebab yang ada pada mawsu>f (yang disifati).
b.      Sifat-sifat ma’nawiyah,  atau dalam teologi juga disebut sifat-sifat subu>tiyah (positif). Yang dikategorikan ke dalam sifat-sifat ma‘nawiyah menurut al-Juwayni adalah : Sifat berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, berbicara, mendengar dan melihat. Menurut al-Juwayni, yang disebut denga sifat-sifat ma‘nawiyah ialah hukum-hukum yang terdapat pada mawsu>f (yang memperoleh sifat). Hukum-hukum itu ada sebagai akibat dari sebab yang terdapat pada mawsu>f. seperti keadaan mengetahui bagi orang yang mengetahui merupakan akibat dari pengetahuan yang terdapat pada orang yang mengetahui itu. Demikian halnya dengan sifat-sifat ma‘nawiyah lainnya, seperti : berkuasa, berkehendak, hidup, berbicara, mendengar dan melihat.[8]
b.    Mengenai Perbuatan Manusia
Al-Juwayni mengatakan bahwa dilihat dari satu sisi, manusia harus percaya bahwa tiada pencipta selain Tuhan, tiada pencipta selain dia. Semua mahluk yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan belaka. Barang siapa yang berkeyakinan bahwa ada pencipta selain Tuhan, maka keyakinannya ini merupakan dosa yang paling besar, sebab ia telah menyekutukan Tuhan dengan lain-Nya. Di dalam beberapa nas} al-Qura>n banyak disebutkan bahwa hanya Allah yang berhak menjadi pencipta. Demikian pula dengan perbuatan manusia, karna perbuatan manusia itu adalah makhluk Tuhan.[9]
Daya manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan gelar Tuhan sebagai Pencipta dan Pembuat. Perbuatan yang diperbuat manusia dengan mempergunakan dayanya yang baharu, terjadi karna terdapatnya daya tersebut. Tetapi perbuatan itu disandarkan pada Tuhan menurut ukuran (taqdi>ran) dan penciptaan (khalqan). Perbuatan tersebut terjadi karna perbuatan Tuhan yakni penciptaan daya pada manusia. Daya tersebut bukan merupakan perbuatan manusia. Daya itu hanya merupakan sifat manusia, lanjut al-Juwayni. Daya itu milik Tuhan maka apa yang disandarkan kepada Tuhan sebagai suatu ukuran dan ciptaan (taqdi>ran dan khalqan). Tuhan memberi hak pada hambanya untuk memilih, maka manusia bebas mempergunakan daya yang diciptakan-Nya itu.[10]

Selanjutnya, al-Juwayni mengatakan, bahwa Tuhan menciptakan daya yang benar-benar diketahui-Nya di dalam diri manusia. Lalu Tuhan membekali manusia dengan pengetahuan-pengetahuan secara global. Manusia kemudian menjabarkan pengetahuan yang didapatnya secara rinci. Jika Tuhan menghendaki manusia berbuat sesuatu, maka Ia memberikan sebab-sebab terjadinya perbuatan itu. Menimbulan pilihan dan kehendak di dalam diri manusia. Tuhan mengetahui bahwa perbuatan akan terjadi sesuai dengan ukuran (qadar) yang diketahui-Nya. Maka terjadilah suatu perbuatan dengan daya yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia sesuai dengan pengetahuan dan kehendak Tuhan. Hamba hanya tinggal memilih, sedangkan daya telah diciptakan Tuhan sejak semula (ibtida>an). Daya itu disandarkan pada Tuhan, karna dialah yang menghendaki, mengetahui, menentukan, menciptakan dan melestarikannya, ditinjau dari segi hanya Dialah yang berhak menciptakannya.[11]


[1] Tsuroya Kiswati, Al-Juwayni Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam (Jakarta : Erlangga, 2005), 24.
[2] Tsuroya Kiswati, Al-Juwayni, 25.
[3] Ibid., 25.
[4] Tsuroya Kiswati, Al-Juwayni, 27.
[5] Ibid., 27.
[6] Ibid., 163.
[7] Tsuroya Kiswati, Al-Juwayni, 71.
[8] Ibid., 74-75.
[9] Tsuroya Kiswati,  Al-Juwayni, 117.
[10] Ibid., 119.
[11] Ibid., 119.

Riwayat Singkat al-Baqillani


TEOLOGI AL-BAQILLANI
Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Abu Bakar al-Baqillani (Wafat 1013 M) adalah satu di antara pengikut yang terpenting di dalam ajaran Ash‘ariyah. Muhammad bin at-Thayib bin Muhammad bin Ja’far, salah seorang ulama besar di bidang ilmu kalam, menyusun pemikiran-pemikiran al-Ash‘ari, memaparkan muqaddimah-muqaddimah argumentasi akal bagi tauhid meski terkadang berlebih-lebihan karena muqaddimah-muqaddimah tersebut tidak terdapat dalam al-Qur`an dan sunnah. Kemudian dia berhenti pada madzhab salaf dan menetapkan seluruh sifat seperti wajah dan kedua tangan secara hakiki dan membatalkan macam-macam takwil yang dipakai oleh ahli ta’wil. Ini dia tulis dalam kitabnya Tamhid al-Awail wa Talkhis ad-Dalail.[1]
Metode Ash‘ariyah yang moderat mengalami pergeseran mendekati metode Mu‘tazilah, sehingga metode rasional lebih dominan. Menurut Jalal Musa, adanya pergeseran ini disebabkan adanya sikap berlebihan dari sebagian tokoh salaf yang dengan ketat berpegang kepada teks wahyu secara harfiah, sehingga dianggap berbahaya bagi akidah Islam. Pergeseran ini dimulai sejak al-Baqillani (w. 401 H), yang oleh sementara ahli dianggap sebagai tokoh Ash‘ariyah kedua.
Al-Baqillani, seorang dialektikus terkenal Ashariyah, karena banyak terlibat diskusi dengan pihak Mu‘tazilah dan pendeta Kristen, yang banyak menggunakan metode rasional, tetapi sampai menyerap hasil pemikiran filsafat Yunani dan menjadikannya sebagai dasar-dasar argumentasi rasional dalam masalah akidah. Bahkan dia mewajibkan iman kepada dasar-dasar tersebut. Di antara dasar-dasar itu ialah: bahwa alam terdiri atas aksiden; aksiden tidak mampu bertahan sampai dua detik dan sebagainya. Meskipun demikian, al-Baqillani sama sekali tidak melupakan metode tekstual. Memang dalam kitab al-Tamhid (Pendahuluan), al-Baqillani sama sekali tidak memasukkan argumen tekstual, sehingga murni rasional. Tetapi dalam kitabnya yang lain, al-Inshaf, dia mempergunakan argumen rasional dan tekstual secara bersamaan dalam setiap masalah .
Selain itu, al-Baqillani, sebagaimana Ash’ari, juga menetapkan ayat-ayat dan hadis mutashabihat sebagai sifat-sifat Tuhan dengan “bila kayf” (tanpa diketahui bagaimanaya) dengan mengemukakan dalil naql. Meskipun al-Baqillani telah membawa metode Ash’ariyah kepada rasionalitas yang lebih tinggi, namun menurut Abdurrahman Badawi, dia masih awam mengenai logika Aristoteles, karena dalam argumen-argumennya belum ditemukan terminologi logika tersebut. Badawi menilai al-Baqillani hanya mempergunakan logika yang digunakan di kalangan ulama ushul al-fiqh, seperti tentang qiyas yang diterapkan dalam akidah .
Al-Baqillani adalah seorang pengikut yang tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran al- Ash‘ari . Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan Ash‘ari seperti yang diungkapkan sebagai berikut :
·       Sifat Allah
Bagi al-Baqillani, sifat Allah yang kita sebut bukanlah sifat tapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah, sungguhpun ia pada mulanya mempunyai pendapat yang berbeda. Dalam hal ini al-Baqillani mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan.
Dalam kitab tersebut ia membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki ilmu kalam, antara lain pembicaraan tentang jauhar fard (atom), ‘arad, cara pembuktiannya. Juga ia menyinggung kepercayaan agama macam-macam yang kesemuanya bersifat pengantar. Al Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan aliran mu‘tazilah dan dijadikan dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas. Alam ini baginya adalah kumpulan jauhar (benda tunggal) yaitu bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, akan tetapi benda-benda tunggal tersebut tidak terdapat dalam wujud, kecuali sesudah dibubuhi ‘arad{. Jisim, yaitu benda tersusun, terjadi dari gabungan benda-benda tunggal (jauhar) tersebut.
Jauhar adalah sesuatu yang mungkin bisa wujud dan bisa tidak wujud, seperti halnya ‘arad dan jism. Kesemuanya dijadikan Tuhan (diciptakan).  Penciptaan ini terus menerus ada, karena arad, ‘Arad{ dan jisim tidak mungkin terdapat lebih dari satu waktu (detik). Kalau Tuhan berhenti tidak menciptakan lagi, maka semua yang ada disini akan musnah.
Menurut Al-Baqillani tiap-tiap ‘arad{ mempunyai lawan ‘arad{ pula. Misalnya hidup lawannya mati, baik lawannya buruk, panas lawannya dingin, dan seterusnya. Dua ‘arad{ yang berlawanan tidak mungkin berkumpul pada sesuatu benda dari satu segi dan pada satu waktu (bersamaan waktu), meskipun terjadi pergantian ‘arad{ yang berlawanan tersebut pada suatu benda. Akibat penting dari pendapat tersebut ialah bahwa dalam alam ini tidak ada hukum yang pasti, sebagaimana yang dikatakan aliran mu‘tazilah. Karena penggabungan atom dan pergantian ‘arad{ tidak terjadi karena sendirinya (karena tabiatnya),  tetapi kehendak Tuhan semata. Kalau Tuhan menghendaki perubahan hukum yang kelihatannya menguasai jalannya alam, tentu bisa berubah dengan menggantikan apa yang biasanya ada dan meletakkan ‘arad{ yang baru sebagai ganti ‘arad{ yang sudah ada.
Di sinilah terjadi mu‘jizat. Mu‘jizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan (keluarbiasaan : kharq al ‘adah). Jadi hukum kausalitas[2] (sebab musabab) tidak ada. Yang ada adalah pergantian fenomena, yang boleh jadi tetap macamnya sesuai kehendak Tuhan.
Pengingkaran hukum kaualitas ini kemudian menjadi dasar utama aliran Ash‘ariyah, sehingga aliran ini tidak segan-segan menuduh orang yang menganut hukum kausalitas dan menghubungkan kekuatan bekerja / mewujudkan kepada sebab-sebab lahir, seperti pendirian filosof-filosof dan materalis, telah menjadi kafir.
Golongan Ash‘ariyah memegangi teori atom bukan karena hasil penyelidikan akal, akan tetapi karena teori tersebut merupakan jalan terbaik untuk memperkuat paham yang dianutnya/ ditetapkannya. Keadaan inilah yang menyebabkan Ibn Rusyd menyayangkan sikap aliran Ash’ariah.
Itulah antara lain pengantar yang telah dibicarakan al-Baqillani. Akan tetapi amat disayangkan al-Baqillani mengharuskan orang lain mengikuti pendiriannya, sebab pengantar tersebut tidak dimuat dalam al-Qur’an maupun Hadits, sedangkan penyelidikan akal dapat berbeda-beda menurut perbedaan orangnya.
·       Perbuatan Manusia
Kalau bagi Ash’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapaun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan spectes (new’) dari gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Tuhan itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi al-Ash‘ari daya manusia adalah kasb tidak mempunyai efek, bagi al-Baqillani daya itu mempunyai efek. Di antara buku-buku karyanya adalah I’jaz al-Qur’an, al-Milal wan Nihal, Tamhid al-Awail dan lain-lain
Dalam perbedaan faham al-Ash‘ari dengan al-Baqillani nampaknya yang lebih menuju kearah kebenaran adalah faham yang dibawa oleh al-Baqillani. Hal ini menunjukkan bahwa al-Baqillani mempunyai pandangan yang menjurus kepada faham Qadariyah sekaligus menyempurnakan faham yang dibawa oleh pendahulunya tersebut. Sementara al-Ash‘ari lebih menjurus kepada faham Jabariyah.[3]


[1] Celah cahaya, “TEOLOGI AL-BAQILLANI”, dalam http://hindajati.blogspot.com/2009/04/asyariyah-albaqillani.html (5 April 2009)
[2] Artinya sebab akibat ; bersifat menimbulkan akibat; suatu prinsip atau keyakinan bahwa setiap kejadian mempunyai  sebab dan dalam situasi yang sama. Sebab yang sama menimbulkan efek yang sama. Dalam tulisan Pius A Partanto, Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya : Arkola, 1994), 318.
[3] Celah cahaya, “ASH‘ARIYAH AL-BAQILLANI”, dalam http://hindajati.blogspot.com/2009/04/asyariyah-albaqillani.html (5 April 2009)

Rabu, 10 Oktober 2012



RIWAYAT SINGKAT AL-ASH‘ARI
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bila>l bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Ash‘ari.[1] Menurut beberapa riwayat al-Ash‘ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Ash‘ari adalah seorang yang berfaham ahlu al-Sunnah dan ahli hadith. Ia wafat ketika Ash‘ari masih kecil. Sebelum wafat ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya al-Saji agar mendidik al-Ash‘ari.[2] Sedang Ibu al-Ash‘ari sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Juba‘I (w. 303 H/915 M). Berkat didikan ayah tirinya itu kemudian Ash‘ari menjadi tokoh Mu‘tazilah. Ia sering menggatikan al-Juba‘i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu‘tazilah. Selain itu juga ia sering menulis buku-buku yang membela alirannya.
Al-Ash‘ari menganut faham Mu‘tazilah hanya sampai ia berusia  40 tahun.[3] Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu‘tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi Ash‘ari meninggalkan faham  Mu‘tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi Rasulullah sebanyak tiga kali. Yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramad}an. Dalam ketiga mimpinya itu, Rasu al-Allah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu‘tazilah.[4] Sebab lain bahwa al-Ash‘ari  berdebat dengan gurunya (al-Juba‘i) dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.

Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, [5] berlaku sebagai berikut :
·       Al-Ash‘ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut ? Mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat ?
·       Al-Juba‘I : Yang mu’min mendapat tingkat baik dalam surge, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
·       Al-Ash‘ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surge, mungkinkah itu ?
·       Al-Juba‘I : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karna kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan serupa.
·       Al-Ash‘ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukanlah salahku. Jika sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mu’min itu.
·       Al-Juba‘i : Allah akan menjawab : Aku tahu jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat dosa, dan oleh karna itu akan terkena hukum. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.
·       Al-Ash‘ari : Sekiranya yang kafir mengatakan : engkau ketahui masa depanku sebagaimana engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak jaga kepentinganku ?.
Al-Ash‘ari sendiri menceritakan, pada suatu malam timbul keragu-raguanku tentang aqidah yang aku anut, lalu aku berdiri dan s}alat dua rakaat. Kemudian aku berdoa kepada Allah, supaya diberi-Nya petunjuk ke jalan yang tepat. Lantas aku tidur, tiba-tiba aku melihat Rasul al-Allah dalam mimpiku, maka aku adukan halku kepada beliau, dan Rasul al-Allah bersabda “tetaplah engkau pada sunnahku”. Setelah aku bangun, aku coba bandingkan masalah-masalah teologi (kala>m) dengan apa yang terdapat dalam al-Qura>n dan al-Sunnah. Maka aku berketetapan hati memilih bimbingan yang terdapat pada kedua sumber itu. Dan aku tinggalkan apa yang selama ini aku anut.[6]

DOKTRIN-DOKTRIN TEOLOGI AL-ASH‘ARI
Formulasi pemikiran al-Ash‘ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara antara formulasi artodoks ekstrim di satu sisi dan Mu‘tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu‘tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiyah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullab.[7]
Pemikiran-pemikiran al-Ash‘ari yang terpenting adalah berikut ini :
a.    Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Ash‘ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompk Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensinya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau arsh (kursi) tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, al-Ash‘ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiyah). Selanjutnya, al-Ash‘ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah bebeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
b.    Kebebasan dalam bertindak (free will). Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya, dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariyah yang fatalistik dan menganut paham pra-determinisme semata-mata dan Mu‘tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, al-Ash‘ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.    Qadimnya al-Qur‘an. Al-Ash‘ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya al-Quran. Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa al-Quran diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan madhhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa al-Quran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, al-Ash‘ari mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Quran bagi al-Ash‘ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat :
اِنَّمَا قَوْلُنَالِشَيْءٍ اِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (النّحل : 40)[8]
Artinya : Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “terjadilah”, maka iapun terjadi. (Q.S. al-Nahl ‘16’ : 40).
d.    Melihat Allah. Al-Ash‘ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsh. Selain itu ia tidak sependapat dengan Mu‘tazilah yang mengingkari ru’yatu al-Allah (melihat Allah) di akhirat. Al-Ash‘ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
e.    Kedudukan orang berdosa. Al-Ash‘ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu‘tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya, jika tidak mu’min berarti ia kafir. Oleh karena itu, al-Ash‘ari berpendapat bahwa mu’min yang berbuat dosa besar adalah mu’min yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[9]
AL-ASH‘ARIYAH, PENENGAH JABARIYAH DAN MU‘TAZILAH
Pemikiran al-Ash‘ari tentang al-kasb yang berkaitan dengan perbuatan manusia, tidaklah sama persis dengan faham Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai peran dalam perbuatannya.[10] Menurut al-Ash‘ari ada peran manusia dalam perbuatannya, beliau tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai daya dan kehendak sama sekali, sebab akan membawa kepada pengertian bahwa manusia tidak bisa dan tidak boleh dimintai pertanggung-jawabannya dalam segala hal yang timbul pada dirinya.
Al-Ash‘ari menegaskan ada usaha dari manusia untuk melakukan atau tidak melakukan suatu gerak atau perbuatan, walaupun yang menjadikan gerak atau tidak bergerak itu adalah Allah sendiri. Ia mundul dengan suatu pandangan yang mengatakan ada daya dan kehendak yang diciptakan Tuhan pada manusia. Namun dalam penggunaan daya dan kehendak tersebut, manusia tidaklah terlepas dari campur tangan Tuhan.
Menurut Amin, dalam al-Ash‘ari yang ditulis oleh Nukman Abbas,[11] menyebutkan bahwa madhhab al-Ash‘ari itu adalah madhhab Mu‘tazilah yang telah ia adakan penyesuaian-penyesuaian pada berbagai persoalan, dan ia berhasil menarik pengikut yang banyak serta sangat sukses melahirkan madhhab baru.
Salah satu pendapat al-Ash‘ari ialah bahwa dalam memahami agama, ia tidak setuju hanya dengan berpegang kepada nash semata, karna menurutnya hak itu akan membawa Islam kepada Jumud dan mundur. Sebaliknya ia juga tida setuju dengan terlalu mengagungkan ‘aql, yang menurutnya akan membawa Islam kepada kehancuran al-Dimar. Maka demi kepentingan Islam dan kesatuan ummat, alangkah idealnya memakai nash dan ‘aql sekaligus. Dalam rangka itulah al-Ash‘ari memunculkan teori al-Kasb, dalam pengertian seperti yang digambarkan melalui ungkapan-ungkapan beliau.[12]


[1] Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung : CV. Pustaka Setia,2001), 120.
[2] Ibid., 120.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:Universitas Indonesia,1986), 65.
[4]  Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung : CV. Pustaka Setia,2001), 120.
[5]  Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:Universitas Indonesia,1986), 66.
[6]  Nukman Abbas, Al-Ash‘ari 874-935 (Jakarta : Erlangga) 106.
[7] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam(Bandung : Pustaka Setia, 2001), 121.
[8] Al-Qura>n, 16 : 40.
[9] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam(Bandung : Pustaka Setia, 2001), 121-124.
[10] Nukman Abbas, Al-Ash‘ari 874-935 (Jakarta : Erlangga) 235.
[11] Nukman Abbas, Al-Ash‘ari 874-935 (Jakarta : Erlangga) 237.
[12] Ibid., 238.