Translator

Minggu, 28 Oktober 2012

RIWAYAT SINGKAT AL-JUWAYNI


RIWAYAT SINGKAT AL-JUWAYNI
Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-Allah bin Yusuf bin Muhammad bin ‘Abd al-Allah bin Hayyuwiyah al-Juwayni al-Nisaburi Imam al-Haramayn Abu al-Ma‘ali. Ayahnya ‘Abd al-Allah bin Yusuf bin Muhammad ‘Abd al-Allah bin Hayyuwiyah, berasal daerah Juwayn, sebuah tempat yang terletak di Bustam di antara Jajaram dan Baihaq. [1] Di sana ayahnya dilahirkan dan dibesarkan, di sana pula ia mengenyam pendidikan dari para ‘alim ulama’. Kemudian ‘Abd al-Allah bin Yusuf pergi meninggalkan kampung halamannya menuju Nishapur untuk mencari ilmu pengetahuan. Di Nishapur ia belajar fiqih madhhab Shafi‘iyah dan teologi pada al-Qifal al-Marzawi.
Di Nishapur, ayahnya membeli seorang budak wanita s}alihah dan baik hati dengan uang halal yang diperoleh dengan bekerja. Dari Umm al-Walad inilah lahir ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-Allah, yang kemudian terkenal dengan sebutan Imam al-Haramayn. Tahun lahir ‘Abd al-Malik diperselisihkan para sejarawan. Al-Subki, Brocelmann, L. Gardet, Fauqiyah, ‘Abd al-‘Azim al-Daib, Ibn Khallikan, Ibn Asa>kir, Ibn Kathir, Ibn Fadl al-Allah al-Amri dan al-Samani sepakat mengatakan bahwa al-Juwayni dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419H. atau bertepatan dengan bulan Februari tahun 1028 M, sedangkan tanggal umumnya juga diperselisihkan. Fauqiyah mengatakan bahwa tanggalnya 22, Brockelmann mengatakan tanggal 12, sedangan L. Gardet mengatakan tanggal 17. Walaupun tanggal umumnya diperselisihkan, namun mereka sepakat dalam bulan dan tahun umumnya.[2]
Kembali ke masalah tahun lahirnya, sejarawan lain, seperti Ibn Jawzi dan Ibn Taghri Bardi mengatakan, bahwa al-Juwayni dilahirkan pada tahun 417H. walaupun terdapat perselisihan pendapat atas tahun kelahirannya, namun mereka sepakat bahwa al-Juwani wafat pada tahun 478H. dalam usia 59 tahun. Dengan adanya kesepakatan ini bisa disimpulkan bahwa tahun kelahirannya ialah 419H atau tahun 1028M.[3]
Ketika ayah al-Juwayni wafat pada tahun 438H. Ia menggantikan ayahnya mengajar di majlis ilmiah. Ketika itu usia usia al-Juwayni belum genap 20 tahun. Meskipun al-Juwayni telah menjadi guru namun ia tidak berhenti mencari ilmu. Ia belajar fiqih dan teologi aliran Asha>‘irah pada al-Isfirayni. Ia belajar fiqih madhhab Sha>fi‘iyah dan ilmu hadith pada al-Baihaqi. Pada masa yang sama, ia juga turut menghadiri majlis al-Khabbazi untuk belajar ilmu al-Qura>n. Demikian kegiatan al-Juwayni sebelum ia pergi meninggalkan Nishapur untuk beberapa lama. Di samping memperdalam ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, ia meneruskan mengajar di sekolah atau majlis yang didirikan oleh ayahnya. Ia menafsirkan fikih madhhab Sha>fi‘iyah dan mempertahankan teologi madhhab Asha>‘irah dari serangan-serangan musuh yang ingin menghancurkannya.
Ketika terjadi fitnah al-Kunduri (sekitar antara tahun 443H dan 447H), al-Juwayni meninggalkan Nishapur menuju Mu‘askar, Ishfahan, Baghdad, Hijaz dan yang terakhir Makkah.[4] Ia menetap di Makkah selama beberapa tahun. Ia pernah menjadi guru agama di dua tempat suci Makkah dan Madinah. Oleh sebab itu ia terkenal dengan sebutan Imam al-Haramayn, berarti guru agama di dua tempat suci masjid al-Nabawi di madinah dan masjid al-Haram di Makkah.[5]
DASAR TEOLOGI AL-JUWAYNI
Teologi dalam arti sederhana adalah pembahasan soal-soal yang berkaitan dengan diri Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, terutama hubungan-Nya dengan manusia. Manusia sebagaimana telah disebut, merupakan satu-satunya mahluk yang paling sempurna akalnya dan mempunyai perasaan. Hanya merekalah yang sannggup mengadakan pembahasan. Menurut al-Juwayni ditinjau dari segi Shari‘at yang terdiri dari ijma‘ ulama‘, manusia wajib mengetahui Tuhannya. Cara memperoleh pengetahuan tentang Tuhan adalah dengan mengadakan penalaran akal. Dengan begitu, cara untuk mencapai sesuatu yang wajib, menjadi wajib pula hukumnya. Artinya, karena mengetahui Tuhan merupakan kewajiban dan kewajiban itu bisa terlaksana bila menggunakan penalaran aka, maka penalaran akal wajib pula hukumnya.[6]
Beberapa contoh pemikiran al-Juwayni :
a.    Mengenai sifat-sifat Tuhan
Menurut Thuroya, Di dalam buku al-Irsha>d, al-Juwayni mengawali pembahasannya tentang sifat-sifat Tuhan dengan membagi apa yang wajib, mustahil dan boleh pada Tuhan. [7]
1.      Yang wajib bagi Tuhan. Apa yang wajib ada pada Tuhan adalah sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat wajib ini dibagi menjadi dua :
a.       Sifat-sifat Nafsiyah. Yang dimaksud dengan sifat-sifat  nafsiyah (sifat diri) bagi al-Juwayni, bahwa setiap sifat yang ada pada diri (nafs), yang ada karena adanya diri tersebut. Sifat-sifat itu bukan terjadi akibat dari suatu sebab yang ada pada mawsu>f (yang disifati).
b.      Sifat-sifat ma’nawiyah,  atau dalam teologi juga disebut sifat-sifat subu>tiyah (positif). Yang dikategorikan ke dalam sifat-sifat ma‘nawiyah menurut al-Juwayni adalah : Sifat berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, berbicara, mendengar dan melihat. Menurut al-Juwayni, yang disebut denga sifat-sifat ma‘nawiyah ialah hukum-hukum yang terdapat pada mawsu>f (yang memperoleh sifat). Hukum-hukum itu ada sebagai akibat dari sebab yang terdapat pada mawsu>f. seperti keadaan mengetahui bagi orang yang mengetahui merupakan akibat dari pengetahuan yang terdapat pada orang yang mengetahui itu. Demikian halnya dengan sifat-sifat ma‘nawiyah lainnya, seperti : berkuasa, berkehendak, hidup, berbicara, mendengar dan melihat.[8]
b.    Mengenai Perbuatan Manusia
Al-Juwayni mengatakan bahwa dilihat dari satu sisi, manusia harus percaya bahwa tiada pencipta selain Tuhan, tiada pencipta selain dia. Semua mahluk yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan belaka. Barang siapa yang berkeyakinan bahwa ada pencipta selain Tuhan, maka keyakinannya ini merupakan dosa yang paling besar, sebab ia telah menyekutukan Tuhan dengan lain-Nya. Di dalam beberapa nas} al-Qura>n banyak disebutkan bahwa hanya Allah yang berhak menjadi pencipta. Demikian pula dengan perbuatan manusia, karna perbuatan manusia itu adalah makhluk Tuhan.[9]
Daya manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan gelar Tuhan sebagai Pencipta dan Pembuat. Perbuatan yang diperbuat manusia dengan mempergunakan dayanya yang baharu, terjadi karna terdapatnya daya tersebut. Tetapi perbuatan itu disandarkan pada Tuhan menurut ukuran (taqdi>ran) dan penciptaan (khalqan). Perbuatan tersebut terjadi karna perbuatan Tuhan yakni penciptaan daya pada manusia. Daya tersebut bukan merupakan perbuatan manusia. Daya itu hanya merupakan sifat manusia, lanjut al-Juwayni. Daya itu milik Tuhan maka apa yang disandarkan kepada Tuhan sebagai suatu ukuran dan ciptaan (taqdi>ran dan khalqan). Tuhan memberi hak pada hambanya untuk memilih, maka manusia bebas mempergunakan daya yang diciptakan-Nya itu.[10]

Selanjutnya, al-Juwayni mengatakan, bahwa Tuhan menciptakan daya yang benar-benar diketahui-Nya di dalam diri manusia. Lalu Tuhan membekali manusia dengan pengetahuan-pengetahuan secara global. Manusia kemudian menjabarkan pengetahuan yang didapatnya secara rinci. Jika Tuhan menghendaki manusia berbuat sesuatu, maka Ia memberikan sebab-sebab terjadinya perbuatan itu. Menimbulan pilihan dan kehendak di dalam diri manusia. Tuhan mengetahui bahwa perbuatan akan terjadi sesuai dengan ukuran (qadar) yang diketahui-Nya. Maka terjadilah suatu perbuatan dengan daya yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia sesuai dengan pengetahuan dan kehendak Tuhan. Hamba hanya tinggal memilih, sedangkan daya telah diciptakan Tuhan sejak semula (ibtida>an). Daya itu disandarkan pada Tuhan, karna dialah yang menghendaki, mengetahui, menentukan, menciptakan dan melestarikannya, ditinjau dari segi hanya Dialah yang berhak menciptakannya.[11]


[1] Tsuroya Kiswati, Al-Juwayni Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam (Jakarta : Erlangga, 2005), 24.
[2] Tsuroya Kiswati, Al-Juwayni, 25.
[3] Ibid., 25.
[4] Tsuroya Kiswati, Al-Juwayni, 27.
[5] Ibid., 27.
[6] Ibid., 163.
[7] Tsuroya Kiswati, Al-Juwayni, 71.
[8] Ibid., 74-75.
[9] Tsuroya Kiswati,  Al-Juwayni, 117.
[10] Ibid., 119.
[11] Ibid., 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar