Translator

Rabu, 09 Oktober 2013

TEORI BELAJAR HUMANISTIK



PENDAHULUAN
Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanistik juga penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditunjukkan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati kajian filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal, dengan kata lain teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya. Seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainya.
PENGERTIAN TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Humanistik berasal dari Human/al-Insa>nyang berarti manusia[1]secara sederhana berarti “kemanusiaan”.[2] berasal dari bahasa latin humanus yang berarti “bersifat manusia”.[3] atau sesuai kodrat manusia, yang diturunkan dari akar kata homo yang berarti manusai. Secara terminologi, humanistik dapat diartikan dalam pengertian :Historical Humanism, Ethichal Humanism, Philosopical Humanism, Sociological Humanism, Religius Humanism, dan Literary Humanism.[4]
Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang kemudian disebut sebagai potensi, manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang tampak dari para pendidik beraliran humanisme.
Muhammad Thabroni dan Arif Mustofa dalam bukunya Belajar & Pembelajaran artikel menyebutkan bahwa Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya.[5] Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kpribadian manusia dari pada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisis Freudian. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini, yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik.[6] Yang  biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
TEORI BELAJAR HUMANISTIK MENURUT PAKAR
1.      Kolb.
Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap. Yaitu :
a.       Tahap pengalaman kongkret. Tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Diapun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
b.      Pengalaman Aktif dan Reflektif. Pada tahao kedua, siswa mulai mampu mengadakan observasi terhadap suatu kejadian dan mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
c.       Konseptualisasi. Pada tahap ketiga siswa mulai belajar membuat abstraksi atau teori tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Siswa diharapkan mampu membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian meskipun tampak berbeda-beda, mempunyai aturan yang sama.
d.      Eksperimentasi aktif. Pada tahap akhir siswa mampu mengaplikasi suatu aturan umum ke situasi yang baru. Misalnya dalam matematika, asal-usul sebuah rumus. Akan tetapi ia juga memaknai rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Menurut Kolb, sistem belajar semacam ini terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung tanpa disadari.
2.      Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, honey dan mumford membuat penggolongan siswa menjadi empat macam : Aktivis, reflektor, toritis dan pragmatis.[7]
a.       Tipe siswa aktivis bercitrakan mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun, siswa semacam ini biasanya kurang skeptip terhadap sesuatu, kadang identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai metode yang mampu mendorong mereka menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming atau problem solving. Akan tetapi, mereka akan cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.
b.      Tipe siswa reflektor adalah sebaliknya. Mereka cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung konservatif. Yaitu mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan.
c.       Tipe siswa teoritis biasanya sangat kritis, senang menganalisis dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya sangat subjektif. Bagi mereka, berfikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka juga biasanya sangat skeptik dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.
d.      Tipe siswa pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Menurut mereka, teori memang penting. Namun apabila teori tidak dipraktikkan tidak akan berhasil. Siswa tipe ini suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu.
3.      Habermas
Ahli psikologi lainnya adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian.[8]
a.       Belajar teknis (Technical Learning), siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya, mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
b.      Belajar praktis (Practical Learning), dalam belajar praktis siswa juga belajar berinteraksi. Akan tetapi, pada tahap ini lebih dipentingkan adalah interaksi antara dirinya dan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam justru relevan dan jika hanya berkaitan dengan kepentingan manusia.
c.       Belajar Emansipatoris (Emancipatoris Learning), dalam tahap ini, siswa berusaha mencapai pemahaman kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi. Sebab tronsformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
4.      Bloom dan Krathwohl
Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang dikuasai oleh siswa yang mencakup tiga kawasan berikut ini.
a.       Kognitif, yang terdiri dari enam tingkatan :
1). Pengetahuan (mengingat dan menghafal)
2). Pemahaman (menginterpretasikan)
3). Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah).
4). Analisi (menjabarkan suatu konsep).
5). Sintesis ( menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu       konsep utuh).
6). Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).
b.      Psikomotor, yang terdiri dari :
1). Peniruan (menirukan gerak).
2). Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak).
3). Ketepatan (melakukan gerak dengan benar).
4). Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar).
5). Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
c.       Afektif, terdiri dari lima tingkatan :
1). Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu).
2). Merespon (aktif berpartisipasi).
3). Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu).
4). Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
Taksonomi Bloom ini berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkat yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan pembelajaran ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, dijalankan, dan diukur. Dari berbagai macam taksonomi belajar, taksonomi Bloom merupakan yang paling populer.
Selain itu, teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut. Kritikan atas klasifikasi kemepuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki oleh para pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif.[9]
Dalam klasifikasi taksonominya pada aspek kognitif, Bloom mengemukakan enam tingkatan kemampuan yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sistesis dan evaluasi. Menurut Muhammad Thabrani dan Arif Mustofa dalam bukunya yang berjudul belajar dan pembelajaran, melalui pakar pendidikan, seperti Peter W. Airasian, Kathleen A. Cruikhsank, Ricard E. Meyer, Paur E. Pitrich, James Raths dan Merlin C. Wittrock. Mengadakan revisi aspek kemampuan kognitif  tersebut dengan memilih dua dimensi, yaitu dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif.[10]
a.       Dimensi Pengetahuan
Memuat objek ilmu yang disusun dari:
1.      Pengetahuan fakta
2.      Pengetahuan konsep
3.      Pengetahuan prosedural
4.      Pengetahuan meta-kognitif
b.      Dimensi Proses Kognitif
Memuat enam tingkatan
1.      Mengingat
2.      Mengerti
3.      Menerapkan
4.      Menganalisis
5.      Mengevaluasi
6.      Mencipta
5.      Abrham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal, yaitu :
a.       Suatu usaha yang positif untuk berkembang.
b.      Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengumumkan bahwa individu berprilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut, seperti rasa takut unutk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki, dan sebagainya. Akan tetapi, di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar, dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) mausia menjadi utuh hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, sepert kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang jika kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
KEKURANGAN DAN KELEBIHAN TEORI HUMANISTIK
Kelebihan teori humanistik dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Teori ini cocok untuk diterapakan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kpribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial.
2.    Indikator keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar, dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku, serta sikap atas kemauan sendiri.
3.    Siswa diharapkan menjadi siswa yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.[11]
Adapun kekurangan teori humanistik, yaitu siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
Dalam sumber lain menyebutkan :
1.      Kelebihan :
a.       Bersifatpembentukankepribadian,hatinurani,perubahansikap,analisisterhadapfenomenasocial.
b.      Siswamerasasenang,berinisiatifdalambelajar.
c.       Guru menerimasiswaapaadanya,memahamijalanpikiransiswa.
2.      Kekurangan:
a.       Bersifat individual.
b.      Proses belajartidakakanberhasiljikatidakadamotivasidanlingkungan yangmendukung.
c.       Sulitditerapkandalamkonteks yang lebihpraktis.[12]
APLIKASI TEORI BELAJAR HUMANISIK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
Teori Humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih kongkret dan praktis, namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat peru diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karna seorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai.[13]
Teori Humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan oprasional, namun sumbangan teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskan dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami apa hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa.Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung  mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara ekspilisit belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan Humanistik.[14]
Dalam teori ini siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Ketika siswa memahami potensi diri, diharapkan siswa dapat mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya dari pada hasil belajar. Sedangkan, proses umumnya dilalui adalah sebagai berikut :
1.    Merumuskan tujuan belajar
2.    Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif.
3.    Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4.    Mendorong siswa untuk peka berfikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara aktif.
5.    Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya, melakukan apa yang diinginkan, dan menanggung resiko perilaku yang ditunjukkan.
6.    Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif, tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko proses proses belajarnya.
7.    Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
8.    Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.[15]
IMPLIKASI TEORI BELAJAR HUMANISTIK
1.    Guru sebagai fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberikan berbagai kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Cara ini merupakan ihtisar yang sangat singkat dari petunjuk berikut ini.
a.       Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan sesuai suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.
b.      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
2.    Guru mempercayai adanya keninginan dari masing-masing sisea untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna dagi dirinya sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
3.    Guru mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
4.    Guru menempatkan dirinya sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
5.    Di dalam menggapai ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan. Serta mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual maupun kelompok.
6.    Bila cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
7.    Guru mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaanya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan. Tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak para siswa.
8.    Guru harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
9.    Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasan dirinya.[16]


AFTAR PUSTAKA
Al-hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu al-Quran. Jakarta: Amzah, 2008.
Budiningsih, Asri. Belajar & Pembelajran. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012.
Muhammad Thabroni & Arif Mustofa. Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Partanto, Pius A. Al-barry, Dahlan. Kamus Ilmiyah populer. Surabaya: Arloka, 2001.
Mushlihin al-Hafizh, “Pengertian Humanisme”, dalam
http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-humanisme.html


[1]Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Quran (Jakarta: Amzah, 2008), 118.
[2]Kamus ilmiyah (belum)
[3]Mushlihin al-Hafizh, “Pengertian Humanisme”, dalam http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-humanisme.html
[4]Mushlihin al-Hafizh, “Pengertian Humanisme”, dalam http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-humanisme.html
[5]Muhammad Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), 157.
[6]Ibid., 158.
[7]Muhammad Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran, 160.
[8]Muhammad Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran, 161.
[9]Muhammad Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran, 164.
[10]Muhammad Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran, 164.
[11]Muhammad Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran, 176.
[12] http://www.scribd.com/doc/109348358/Kekurangan-Dan-Kelebihan-Teori-Humanistik

[13]Asri Budiningsih, Belajar dan pembelajaran (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), 76.
[14]Ibid., 76.
[15]Muhammad Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran, 178.
[16]Muhammad Thabrani & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran, 179.

1 komentar: